Angin berjalan-jalan mengelilingi tempat itu, sinar matahari menngikut bersamanya. Dedaunan di awal musim gugur yang sejuk mulai berguguran, membuat tikar coklat yang tidak akan pernah ditemui di musim manapun.
Lapangan batu itu sepi, terlebih, karena hanya ada satu orang saja yang mendiaminya. Dengan sebuah pohon beringin berumur awal ribuan tumbuh di salah satu sisinya, lumut sehijau daun merayapi batu batunya. Kecuali area kecil di bagian tengah. Sebuah simbol klan Ma un tercetak di atasnya dengan bertahtakan Lapis Lazuli dan Zamrud. Sangat eksotis dan langka.
“haah~” Qanae menghembuskan napasnya diantara lubang pada topeng besinya. Pelindung wajah yang menggambarkan bagaimana ia sebelum tragedi menyiksa ‘itu’.
Ialah satu-satunya orang yang ada disana, menggunakan pakaian kimono hitam yang dimodifikasi, memiliki pelindung pada bahu dan dadanya, meng-kilatkan sinar dari atas. Di depannya, tergeletak katana dengan saya yang lebih hitam dari malam.
Srak.
Daun-daun beringin disana bergesekan, sekelompok murid bediri di sekitarnya dengan kusarigama tergenggam di kedua belah tangannya. Sekali lagi, angin membelai ujung-ujung pakaian mereka.
“kau pikir apa yang dia lakukan disana Mara” kata Kiato sambil menoleh pada Amara di sampingnya, mereka berdua mengamati Qanae beberapa belas meter di depan mereka.
“entahlah, dia hanya duduk diam tanpa bergerak selama kurang lebih sepenggalah matahari, waktu kita tidak banyak” Amara menjawab. Dia dan Kiato adalah murid dari orang yang tengah sibuk duduk ditengah sana, tanpa bergerak. Hari ini adalah ujian terakhir untuk maju ke Tsani, tingkat beladiri bersenjata kedua, jika lulus. Masih ada seseorang lagi.
“serang?” Tanya Kiato, mengalihkan pandangannya kedepan kembali.
Amara mengangguk, mengangkat sebelah tangan, kemudian menggenggamnya dengan erat.
Srak, Trang.
Sebuah kunai sudah tergeletak tak berdaya setelah katana itu menebasnya, Qanae telah berdiri, kimononya ikut berkibar dengan pedang di tangan kanannya, terhunus. “bagus, Denki, serangan seperti itu efektif sebagai penyergapan. Tapi tidak bagi para samurai ulung” ia mengedarkan pandangan, meresapi angin di sekitarnya.
Saakk, siing.
Sejurus kemudian, murid yang melepas kunai tersebut sudah berada didekat gurunya, menggunakan tehnik pertukaran tempat. Trang, pedang mereka berdentang nyaring, menciptakan bunga api yang tak terhitung jumlahnya.
Qanae melakukan tusukan berbahaya, Denki reflek menghindar, menepis serangan itu dari perut kirinya, mengayunkan ke atas kepala. Ia kembali harus menangkis ketika gurunya menebas dari atas kebawah mengincar bahu kanannya. Tapi kali ini ia menemukan celah lebar, dengan pukulan hebat pedangnya menebas sekuat tenaga.
Zraaash.
Luput. Gurunya melompat mundur, sambil mengangkat pedang ke atas kepala untuk tebasan langsung.
Taang. Taang.
Bukan, bukan untuk tebas kuat, menangkis dua kunai lagi yang melesat kearahnya. “kerja sama kalian bagus, kuharap kalian bisa meraih kantong berisi 700 Diram ini” tantangan baru terlontar, dan Qanae tidak melepaskan pandangannya pada Denki.
Sebuah tendangan mengincar kepalanya, dengan ulet dia menghindar, seolah telah sering menerimanya. Celah baru terlihat, pukulan dilancarkan. Telak mengenai bahu Denki, menggoyahkan seluruh keseimbangannya. Gurunya tidak memberi jeda, menukar posisi kaki, menendang dengan gerakan memutar yang elegan sekaligus mematikan .
Denki tersungkur, mengaduh pelan ketika terjerembab ke atas bebatuan berlumut, ujung kakinya masih merasakan dingin batu zambrut karena tersisa bagian itu di dalam lingkaran. Qanae mengangkat katananya, mengarahkan kebawah.
Sraak. Sraak
Pedang dan kedua tangannya dililit rantai besi, sempurna mengikat. “Amara, Kiato!” panggilnya, menoleh kebelakang. Sejurus kemudian katana dan seluruh tubuhnya mengarah kebelakang. Pedang itu jauh terlontar, berdentang keras.
Qanae memanfaatkan momen tersebut, menerjang kedua muridnya di belakang. Dengan teramat elegan, dia melompat sekaligus menghindari dua tebasan sabit kusarigama, angin bahkan berteriak oleh bilah cepatnya, tanpa disadari membelah sesuatu.
Buk.
Qanae menendang kedua muridnya di bagian dada, keduanya terjerembab. Denki berdiri dengan tertatih, menerjang gurunya dengan ganas, mengangkat pedang untuk tebasan langsung. Besi itu hanya sepersekian millimeter melintas di dekat kimononya tanpa saling menyentuh. “kau perlu lebih lincah dari pada itu Denki” sambil tersenyum kemenangan.
Sreek.
Tidak, Qanae tidak melakukan tendangan untuk menjatuhkan muridnya itu. Dia memecut langkahnya untuk mengambil katana, di ikuti gerak hebat sambil berlari, dia berhasil meloloskan tangannya dari lilitan rantai Kiato. Dia menebaskan pedangnya di jarak kejauhan, mengayunkan sabit kusarigama keudara.
Trang.
Denki terlambat memasang kuda-kuda, katananya terbanting jauh. Pemberat yang berada diujung rantai Kusarigama ikut meluncur setelah melepaskan pedang Qanae. Membuat goresan kecil di bawah mata Denki. Qanae melempar sebuah shuriken kebelakang.
Sementara dibelakang mereka, Kiato membantu Amara duduk. Tendangan tadi terukur dan berbahaya, ketika melepaskan tenaga semaksimal mungkin kebagian trakea, itu menohok pernapasan mereka. Kiato melihat senjata yang melesat kearahnya, dia mendekatkan tubuh kesamping Amara, kemudian mengangkat sabitnya untuk menangkis shuriken itu.
Angin tiba-tiba menderas.
Qanae melepaskan tebasan-tebasan mematikan “kurasa kalian tidak akan lulus di ujian kali ini”, ia tersenyum lagi. “kami akan lulus sensei, bagaimanpun caranya” Denki membalas senyuman itu dengan seringai. Sejurus kemudian, gurunya melakukan tehnik guntingan dalam gerakan cepat. Membanting muridnya ke atas lapangan.
“begitulah Denki, aku apresiasi kerjasama kalian yang solid dan tehnik sergapan kalian yang efektif. Tapi sayang, kantong ini masih di sini” Qanae hendak meraih pinggangnya. “begitukah sensei” kali ini Denki yang tersenyum penuh kemenangan, posisinya masih dikunci sempurna oleh gurunya, tersungkur. Dan tentu saja ia tidak akan menemukan kantong itu di sana.
Semenit yang lalu
“t… terima kasih Kiato” Amara malu-malu berucap, matanya teralihkan ketika melihat kantong yang berada di sisi gurunya sudah berpindah tangan. “bagaimana bisa” tanyanya, “beberapa tehnik kecil” Kiato tersenyum, menolehkan pandangan ke tengah sisi lain lapangan,pertarungan sudah usai.
“SENSEI!” teriaknya, mencuri perhatian, mengangkat kantong penuh koin itu. Tanda kemenangan.
“baiklah, kalian lulus” Qanae berdiri, melepas kunciannya. “pintar juga memotong talinya ketika itu” pujinya sambil memandang Denki, dan timnya bergantian. “ayo, pulang ke asrama. Ada sesuatu yang ingin ku sampaikan” bersama angin, mereka melangkahkan kaki.
Matahari perlahan sempurna tegak diatas kepala, menghilangkan bayang-bayangan pada sebuah tongkat penunjuk waktu di suatu lapang berbeda. Tapi perlahan juga, akhirnya mulai tergelincir ke barat untuk terus menjalankan janjinnya, kembali esok hari.
Selepas makan siang, mereka berempat, tidak berlima duduk di sekitar meja makan setelah piring-piring dan lainnya dibereskan, pembicaraan formal. Semuanya duduk dalam posisi seiza dengan takzim, siap mendengarkan apapun yang akan disampaikan guru mereka.
“hari ini kalian telah lulus di pelatihan tingkat awwal. Besok kita akan mulai dengan pelatihan tsani, ada satu hal yang ingin kusampaikan, karena mulai besok kalian memiliki rekan berlatih baru, perkenalkan, namanya Kerlin.
Gadis yang berada disamping Qanae mengangkat kepala, tubuhnya standar seperti yang lainnya, wajahnya cantik berhias rambut tiga warna sebahu, hitam, merah, putih. “salam kenal” ucapnya.
Bersambung….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H