Cerpen: 1454, Setahun Setelah Penaklukan.
Konstantinopel, aku kembali.
Walau kutahu nama kota ini bukan lagi demikian sejak setahun lalu. Istanbul, itulah namanya sekarang yang kutahu dari Aslan, seorang penjaga gerbang Ottoman. Pada tahun lalu, kaisar terakhir dinasti Palailogos, Konstantin Palailogos bertempur melawan sultan Mehmet II dari dinasti Ottoman, perang selama 56 hari menembus tiga lapis benteng terkuat orang-orang Kristen.
Sebagai pukulan pamungkas, sultan menjalankan 70 armada kapalnya melewati bukit Galata pada malam hari demi melewati selat Golden Horn dan rantai besinya, rantai yang hanya pernah sekali ditembus sepanjang sejarah penaklukan.
Di sisi barat, meriam-meriam yang dirancang Orban menghantam satu bagian dengan dahsyat, membuat dindingnya menganga lebar. Serangan dari dua sisi tersebut jelas efektif menghancurkan pertahanannya. 29 Mei 1453, Kontantinopel takluk dibawah pedang sang sultan. Konatantin mati dan Mehmet mendapat gelar “Al-fatih”.
Aku tersenyum ketika pertama kali merasakan betapa sejuknya kota ini sekarang, dan lagi, st. Hagia Sophia masih berdiri ------ sekarang dialih fungsikan menjadi Masjid besar.
Kini dibangun empat buat menara menyerupai pensil, kurasa tidak apa-apa ada tambahan sedikit. Jujur saja, hawanya sekarang mejadi teramat menenangkan, lebih nyaman dari pada dua tahun lalu, 1452. Penaklukan ini juga berdampak baik bagi warga sekitar, ekonomi juga tidak pernah sebagus sekarang.
“ALLAHU AKBAR – ALLAHU AKBAR” kalimat itu menghambur di langit Istanbul.
‘bukankah itu cara orang-orang islam memanggil penganutnya untuk beribadah ‘ucap ku dalam hati. Kalimatnya menenangkan, sempurna satu bagian dengan bagian lainnya, syahdu tanpa tergesa-gesa. ‘inikah yang namanya Islam?’ kataku lagi.
Seseorang lewat di depan ku, jalannya santai, mengenakan gamis putih dan peci. “ah, Simon mau kemana kau” aku menghampirinya. “Azdan, Alhamdulillah engkau masih hidup. Barakallah” balasnya, menatapku dengan senang.
Aku terdia seketika, apa katanya tadi? Alhamdulillah, barakallah?. “Azdan, aku telah masuk Islam, mari ikut juga”. Benarkah itu, ia telah masuk islam, agama yang sempurna tersebut.
“Simon tolong ajarkan aku Islam, aku ingin memasukinya” mataku berkaca-kaca, kemudian memegang bahu Simon, bahu yang terasa ringan tanpa beban, tanpa pakaian pendeta lagi. “alhamdulliah, mari Azdan. Mari ikuti aku ke Masjid, ada seorang syeikh yang akan menuntun syahadatmu. Dan namaku sekarang Ahmad” Ahmad memelukku bahagia.
Mulai hari ini selepas shalat Zuhur, namaku adalah Yusuf, mualaf, dan terlahir kembali dalam, Fitrah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H