Aku berjalan di koridor istana, baginda sultan memanggilku. Setelah memberikan surat perizinan aku diizinkan masuk. Ruangan yang kumasuki lumayan besar, kulihat ada beberapa koleksi tombak, pedang, buku tentang segala ilmu dan strategi ilmu unggulan negara. Â Dua temanku pun juga dipanggil dan sudah berada di kursi mengitari meja bundar.
"Assalamu'alaikum" aku mengucap salam. "Waalaikumsalam" balas mereka ditambah sang baginda sultan sendiri. Aku duduk di salah satu kursi, di atas meja bundar itu ada sebuah peta yang menunjukkan daerah suatu negara. "Kalian tentu sudah bisa menduga alasanku memanggil kalian" sultan memulai pembicaraan. Kami mengangguk, alasan dia memanggil kami adalah urusan dengan negara saingan yang mulai mengobarkan api perang  dan mau tak mau hal ini haruslah diladeni dengan serius.
"Bagus, aku ingin kalian bertiga untuk menyusup ke dalam tembok pertahan mereka. Urusan surat menyurat masuk sudah aku selesaikan, bawalah gulungan kertas ini, menyamarlah sebagai pedagang!" dia memberikan tiga gulung surat di atas meja. "Target kalian adalah mengorek informasi tentang militer, pertahan dan politik secara lengkap. Bila gulungan kertas itu gagal untuk meyakinkan penjaga, pergilah ke bagian timur temboknya, di sana ada sebuah pintu kecil yang masuk ke dalam tanah seperti lubang kelinci dan keluar ditembok bagian lainnya. Di sana adalah tembok pertahan terkuat mereka, para  pemimpin di sana sangat membanggakannya sebagai titik terkuat. Pada saat malam akan sangat sepi penjaga, terutama saat malam datangnya seluruh undangan aliansi mereka, penjagaan akan sangat longgar. Kalian manfaatkanlah kesempatan itu dan jangan lewatkan sedetikpun. Tujuan kalian adalah ke istana pusat pemerintahan, usahakan diri kalian menjadi pelayan atau penjaga ruangan untuk mendapatkan informasi. Beberapa agen yang kutempatkan di sana beberapa bulan terakhir sudah membuahkan hasil. Misi kalian adalah meraih informasi dari pertemuan aliansi itu dan mengambil beberapa catatan dari agen-agen itu" dia memberikan tiga gulungan lagi berisikan peta yang ditandai titik merah sebagai tempat para agen.
"Mereka kutempatkan dari tempat yang tersembunyi, berikan ini kepada pengemis tua yang bisa kalian temukan di sekitar titik yang sudah kutandai" dia memberikan sebungkus roti kepada masing-masing kami.
"Berikan ini" dia mengulangi kata-katanya. "Total ada empat agen yang kutempatkan, mengapa aku tak menerima langsung hasil pengamatan mereka, itu karena sejak dua pekan yang lalu penjagaan pada pintu keluar di perketat, dan tak ada yang di izin untuk keluar ataupun masuk ke dalam", tambahnya meyakinkan. Kami mengangguk paham, "Tapi untuk jadwal sudah kuselipkan di jendela kalian tadi malam, maaf jika termasuk tak sopan. Tapi itu satu-satunya cara untuk menjaga kerahasiaan isinya, dan ingat sesudah kalian baca jadwal dengan cermat maka langsung bakar di perapian agar tak menyisakan jejak sedikit pun" dia menyelesaikan penjelasannya.
"Tapi untuk catatan, kalian bertemu dengan agen-agen itu secara terpisah. Bertemu dengan agen-agen itu secara perorangan agar tak mencurigakan, kerajaan itu tak akan membiarkan satupun orang luar masuk. Tiga hari lagi kalian akan kukirim kan dengan rencana dan materi yang kuberikan", cecarnya dengan mantap seakan-akan tak mau sama sekali misi ini terbongkar.
Setelah pertemuan itu kami berjalan keluar. "Bagaimana pendapatmu dengan misi ini, Evan?" Hasan bertanya kepadaku. "Bagus, setidaknya sendi-sendi yang hampir berkarat tak bergerak ini bisa sedikit berolahraga" aku menjawab tanpa menoleh padanya. "Ini cukup berbahaya!" suaranya mulai terdengar khawatir. "Walaupun aku mati pun tak apa, setidaknya aku berusaha" aku meninggalkannya yang berhenti dan merenung sejenak dengan kata-kataku yang terdengar seperti kematian akan menimpaku.
Sesampainya di ambang pintu rumahku terdengar suara semak yang bergerak, suaranya tak didengar seperti rubah yang kadang lewat di depan rumahku. Aku menajamkan pedengaran, suaranya semakin  terdengar, lalu suaranya mulai mereda dan senyap lagi seperti semula. Hanya semilir angin yang terdengar pelan, tiba-tiba sebuah rasa sakit kepala yang menusuk menyerang. Aku langsung  tersungkur, rasanya seperti kepala akan meledak. Aku beristigfar, rumahku berada di tempat yang tak terlalu banyak orang yang lewat, hanya sultan dan beberapa kerabat yang tahu rumah kecil ini. Beberapa saat kemudian, rasa sakit yang menusuk mulai mereda. Aku pun berdiri, meraih daun pintu dan membukanya, di dalam sana ada seorang tamu yang tak terlihat ramah. Dia berbaju hitam dengan kerah yang menutupi hingga hidung, lalu ada penutup kepala yang menutupi hingga lewat dahi, membuat hanya mata yang terlihat. Di pinggangnya tersemat tiga jarum besi besar, lalu di pinggang kanannya sebilah pedang, dia bersandar di dinding.
"Sore!" dia berkata sambil menegakkan badan. "Sore!" balasku sambil terus bergerak ke samping ruangan, ke lemari penyimpan pedangku. "Kau pasti sudah menunggu kedatanganku!" aku berkata dingin. "Ya, tentu saja, caramu bertarung dikenal dan sebuah kehormatan jika aku bisa bertarung denganmu" dia maju beberapa langkah. "Kedatanganmu pasti untuk menjemput nyawa seseorang" aku masih berkata dingin sambil kaki terus bergerak.
"Jika benar itu harusnya adalah kau!" dia menunjuk kearah ku. "Satu-satunya yang akan mati hari ini adalah kau sendiri" tanpa harus membuka lemari kaca itu, aku memukul kacanya hingga pecah dan mengambil pedang ku yang terpajang. Saat pedang itu sudah berada di sampingku, rasa sakit itu kembali menusuk bahkan lebih kuat. Aku tersungkur lagi di lantai kayu sambil meringis "Ya Allah tolong lah hambaMu" aku pun berucap istighfar.
"Nampaknya Tuhan yang selalu kalian sebutkan itu tak bisa menolong kau lagi!", dia berjalan mendekat dari tempatnya.
 "Tiada daya dan upaya melainkan atas izinMu" ringisku sambil mencoba berdiri lagi dan menatapnya tajam setajam pedang yang kupegang. "Langsung saja!" dia berlari menyerang dengan pedang yang diangkatnya.
Pedang kami beradu, suaranya yang nyaring menerbangkan burung-burung di atap. Pedang kami bergantian beradu, tiap tebasan pedangnya cepat dan bertenaga. Lempengan besi yang beradu ini mengeluarkan percikan api yang kecil, dia memukul pedangku ke samping lalu berputar dan memukul pedangku dari belakang. Aku terhuyung, terlebih kerena sakit yang menusuk lagi setelah dia memukul. Dia menendangku, aku terpental hingga membentur punggung kursi. Dia pun menerjang, aku bersalto di kursi itu hingga kursi itu jatuh, kakiku mendarat di meja, ada beberapa gelas di atasnya. Saat orang tak di kenal itu mendekat, aku menendang gelas-gelas itu. Gelas kaca yang melayang-layang di udara ditangkisnya hingga pecah berserakan di lantai, saat serpihan itu masih melayang di udara. Aku melompat dan menendangnya tepat di kepala, dia langsung tersungkur, aku tak memberikan peluang. Aku berlari mendekat, pedangku sudah kuarahkan kepadanya, saat pedang ku sudah mengenai ujung pakainnya. Kaki dari orang tak dikenal itu menendangku tepat mengenai perutku, aku terhuyung tapi tetap berusaha berdiri.
Orang itu berdiri lagi dan menyerang, pedangnya tepat diarahkan perutku, aku menghindar ke samping. Pedangnya menancap di dinding, aku langsung berdiri di belakangnya lalu menusuk perutnya. Aku menarik pedang yang berlumuran darah bersama jatuhnya orang itu di lantai rumahku, napasku yang menderu kukendalikan.
Kulihat ke sekeliing ruangan depan rumahku, semuanya berantakan, serpihan kaca berhamburan, begitu pula dengan darah yang di depanku. Lalu dari luar terdengar suara ketokan, aku membukanya tak ada siapa-siapa, aku pasang kuda-kuda dengan pedang siap. Komplotan orang itu sepertinya sudah menjaga, dua panah sekaligus menyerang dari semak-semak di depan. Aku menghindar, satu panah menancap di dinding rumah, satu lagi kutangkis ke bawah.
"Keluarlah!" aku berteriak, dua orang keluar dari semak-semak. Wajah mereka tertutup dengan sempurna oleh topeng besi, tanpa menunggu aku langsung menyerang. Salah satu dari mereka melepas anak panahnya, dan yang satunya mengambil belati dari pinggang, aku menangkis panah yang melesat lalu melompat. Kaki ku menghantam dadanya, sebelum sempat kawannya memasang panah, kepalanya sudah terlepas dari badan. Darah segar kembali menempati ujung pedang. Tiga orang tak dikenal hari ini pastilah dari kerajaan yang dikatakan sultan, mungkin mereka juga mengincar Hasan. Aku berlari ke rumahnya, setelah lima langkah dua orang pemanah lagi menghalangi jalanku. Aku tak menghentikan langkah, aku langsung menendang salah satunya dan memutuskan kepala satunya lagi. Aku berhenti sejenak, napas ku mulai terengah-engah. Tanpa diduga, sebilah pedang menembus tepat di jantungku. "Hidup mu berakhir, Evan!" terdengar suara yang dingin. Aku langsung tersungkur, dengan darah mengalir di sela bibirku. Mataku melihat orang yang berdiri di belakangku. "Hasan" ruhku dijemput malaikat.
Dunia penuh dengan perjuangan dan perlawanan, mata-mata dan pengintai berkeliaran di antara dua pasukan untuk kepentingan mereka sendiri. Walaupun ada cahaya pasti ada kegelapan, mencari tahu informasi adalah sesuatu yang halal, tapi pengkhianatan adalah cara pengecut seseorang yang berpura-pura patuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI