"Tiada daya dan upaya melainkan atas izinMu" ringisku sambil mencoba berdiri lagi dan menatapnya tajam setajam pedang yang kupegang. "Langsung saja!" dia berlari menyerang dengan pedang yang diangkatnya.
Pedang kami beradu, suaranya yang nyaring menerbangkan burung-burung di atap. Pedang kami bergantian beradu, tiap tebasan pedangnya cepat dan bertenaga. Lempengan besi yang beradu ini mengeluarkan percikan api yang kecil, dia memukul pedangku ke samping lalu berputar dan memukul pedangku dari belakang. Aku terhuyung, terlebih kerena sakit yang menusuk lagi setelah dia memukul. Dia menendangku, aku terpental hingga membentur punggung kursi. Dia pun menerjang, aku bersalto di kursi itu hingga kursi itu jatuh, kakiku mendarat di meja, ada beberapa gelas di atasnya. Saat orang tak di kenal itu mendekat, aku menendang gelas-gelas itu. Gelas kaca yang melayang-layang di udara ditangkisnya hingga pecah berserakan di lantai, saat serpihan itu masih melayang di udara. Aku melompat dan menendangnya tepat di kepala, dia langsung tersungkur, aku tak memberikan peluang. Aku berlari mendekat, pedangku sudah kuarahkan kepadanya, saat pedang ku sudah mengenai ujung pakainnya. Kaki dari orang tak dikenal itu menendangku tepat mengenai perutku, aku terhuyung tapi tetap berusaha berdiri.
Orang itu berdiri lagi dan menyerang, pedangnya tepat diarahkan perutku, aku menghindar ke samping. Pedangnya menancap di dinding, aku langsung berdiri di belakangnya lalu menusuk perutnya. Aku menarik pedang yang berlumuran darah bersama jatuhnya orang itu di lantai rumahku, napasku yang menderu kukendalikan.
Kulihat ke sekeliing ruangan depan rumahku, semuanya berantakan, serpihan kaca berhamburan, begitu pula dengan darah yang di depanku. Lalu dari luar terdengar suara ketokan, aku membukanya tak ada siapa-siapa, aku pasang kuda-kuda dengan pedang siap. Komplotan orang itu sepertinya sudah menjaga, dua panah sekaligus menyerang dari semak-semak di depan. Aku menghindar, satu panah menancap di dinding rumah, satu lagi kutangkis ke bawah.
"Keluarlah!" aku berteriak, dua orang keluar dari semak-semak. Wajah mereka tertutup dengan sempurna oleh topeng besi, tanpa menunggu aku langsung menyerang. Salah satu dari mereka melepas anak panahnya, dan yang satunya mengambil belati dari pinggang, aku menangkis panah yang melesat lalu melompat. Kaki ku menghantam dadanya, sebelum sempat kawannya memasang panah, kepalanya sudah terlepas dari badan. Darah segar kembali menempati ujung pedang. Tiga orang tak dikenal hari ini pastilah dari kerajaan yang dikatakan sultan, mungkin mereka juga mengincar Hasan. Aku berlari ke rumahnya, setelah lima langkah dua orang pemanah lagi menghalangi jalanku. Aku tak menghentikan langkah, aku langsung menendang salah satunya dan memutuskan kepala satunya lagi. Aku berhenti sejenak, napas ku mulai terengah-engah. Tanpa diduga, sebilah pedang menembus tepat di jantungku. "Hidup mu berakhir, Evan!" terdengar suara yang dingin. Aku langsung tersungkur, dengan darah mengalir di sela bibirku. Mataku melihat orang yang berdiri di belakangku. "Hasan" ruhku dijemput malaikat.
Dunia penuh dengan perjuangan dan perlawanan, mata-mata dan pengintai berkeliaran di antara dua pasukan untuk kepentingan mereka sendiri. Walaupun ada cahaya pasti ada kegelapan, mencari tahu informasi adalah sesuatu yang halal, tapi pengkhianatan adalah cara pengecut seseorang yang berpura-pura patuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H