Mohon tunggu...
Muhammad Hadziq Averroes
Muhammad Hadziq Averroes Mohon Tunggu... Lainnya - Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Tertarik menulis ketika berumur 9 tahun dan terus belajar menulis lebih baik. Pada usia 11 tahun menerbitkan sebuah novel sederhana "Play Armada".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kematian dari Pengkhianatan

30 Desember 2023   11:05 Diperbarui: 30 Desember 2023   11:08 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berjalan di koridor istana, baginda sultan memanggilku. Setelah memberikan surat perizinan aku diizinkan masuk. Ruangan yang kumasuki lumayan besar, kulihat ada beberapa koleksi tombak, pedang, buku tentang segala ilmu dan strategi ilmu unggulan negara.  Dua temanku pun juga dipanggil dan sudah berada di kursi mengitari meja bundar.

"Assalamu'alaikum" aku mengucap salam. "Waalaikumsalam" balas mereka ditambah sang baginda sultan sendiri. Aku duduk di salah satu kursi, di atas meja bundar itu ada sebuah peta yang menunjukkan daerah suatu negara. "Kalian tentu sudah bisa menduga alasanku memanggil kalian" sultan memulai pembicaraan. Kami mengangguk, alasan dia memanggil kami adalah urusan dengan negara saingan yang mulai mengobarkan api perang  dan mau tak mau hal ini haruslah diladeni dengan serius.

"Bagus, aku ingin kalian bertiga untuk menyusup ke dalam tembok pertahan mereka. Urusan surat menyurat masuk sudah aku selesaikan, bawalah gulungan kertas ini, menyamarlah sebagai pedagang!" dia memberikan tiga gulung surat di atas meja. "Target kalian adalah mengorek informasi tentang militer, pertahan dan politik secara lengkap. Bila gulungan kertas itu gagal untuk meyakinkan penjaga, pergilah ke bagian timur temboknya, di sana ada sebuah pintu kecil yang masuk ke dalam tanah seperti lubang kelinci dan keluar ditembok bagian lainnya. Di sana adalah tembok pertahan terkuat mereka, para  pemimpin di sana sangat membanggakannya sebagai titik terkuat. Pada saat malam akan sangat sepi penjaga, terutama saat malam datangnya seluruh undangan aliansi mereka, penjagaan akan sangat longgar. Kalian manfaatkanlah kesempatan itu dan jangan lewatkan sedetikpun. Tujuan kalian adalah ke istana pusat pemerintahan, usahakan diri kalian menjadi pelayan atau penjaga ruangan untuk mendapatkan informasi. Beberapa agen yang kutempatkan di sana beberapa bulan terakhir sudah membuahkan hasil. Misi kalian adalah meraih informasi dari pertemuan aliansi itu dan mengambil beberapa catatan dari agen-agen itu" dia memberikan tiga gulungan lagi berisikan peta yang ditandai titik merah sebagai tempat para agen.

"Mereka kutempatkan dari tempat yang tersembunyi, berikan ini kepada pengemis tua yang bisa kalian temukan di sekitar titik yang sudah kutandai" dia memberikan sebungkus roti kepada masing-masing kami.

"Berikan ini" dia mengulangi kata-katanya. "Total ada empat agen yang kutempatkan, mengapa aku tak menerima langsung hasil pengamatan mereka, itu karena sejak dua pekan yang lalu penjagaan pada pintu keluar di perketat, dan tak ada yang di izin untuk keluar ataupun masuk ke dalam", tambahnya meyakinkan. Kami mengangguk paham, "Tapi untuk jadwal sudah kuselipkan di jendela kalian tadi malam, maaf jika termasuk tak sopan. Tapi itu satu-satunya cara untuk menjaga kerahasiaan isinya, dan ingat sesudah kalian baca jadwal dengan cermat maka langsung bakar di perapian agar tak menyisakan jejak sedikit pun" dia menyelesaikan penjelasannya.

"Tapi untuk catatan, kalian bertemu dengan agen-agen itu secara terpisah. Bertemu dengan agen-agen itu secara perorangan agar tak mencurigakan, kerajaan itu tak akan membiarkan satupun orang luar masuk. Tiga hari lagi kalian akan kukirim kan dengan rencana dan materi yang kuberikan", cecarnya dengan mantap seakan-akan tak mau sama sekali misi ini terbongkar.

Setelah pertemuan itu kami berjalan keluar. "Bagaimana pendapatmu dengan misi ini, Evan?" Hasan bertanya kepadaku. "Bagus, setidaknya sendi-sendi yang hampir berkarat tak bergerak ini bisa sedikit berolahraga" aku menjawab tanpa menoleh padanya. "Ini cukup berbahaya!" suaranya mulai terdengar khawatir. "Walaupun aku mati pun tak apa, setidaknya aku berusaha" aku meninggalkannya yang berhenti dan merenung sejenak dengan kata-kataku yang terdengar seperti kematian akan menimpaku.

Sesampainya di ambang pintu rumahku terdengar suara semak yang bergerak, suaranya tak didengar seperti rubah yang kadang lewat di depan rumahku. Aku menajamkan pedengaran, suaranya semakin  terdengar, lalu suaranya mulai mereda dan senyap lagi seperti semula. Hanya semilir angin yang terdengar pelan, tiba-tiba sebuah rasa sakit kepala yang menusuk menyerang. Aku langsung  tersungkur, rasanya seperti kepala akan meledak. Aku beristigfar, rumahku berada di tempat yang tak terlalu banyak orang yang lewat, hanya sultan dan beberapa kerabat yang tahu rumah kecil ini. Beberapa saat kemudian, rasa sakit yang menusuk mulai mereda. Aku pun berdiri, meraih daun pintu dan membukanya, di dalam sana ada seorang tamu yang tak terlihat ramah. Dia berbaju hitam dengan kerah yang menutupi hingga hidung, lalu ada penutup kepala yang menutupi hingga lewat dahi, membuat hanya mata yang terlihat. Di pinggangnya tersemat tiga jarum besi besar, lalu di pinggang kanannya sebilah pedang, dia bersandar di dinding.

"Sore!" dia berkata sambil menegakkan badan. "Sore!" balasku sambil terus bergerak ke samping ruangan, ke lemari penyimpan pedangku. "Kau pasti sudah menunggu kedatanganku!" aku berkata dingin. "Ya, tentu saja, caramu bertarung dikenal dan sebuah kehormatan jika aku bisa bertarung denganmu" dia maju beberapa langkah. "Kedatanganmu pasti untuk menjemput nyawa seseorang" aku masih berkata dingin sambil kaki terus bergerak.

"Jika benar itu harusnya adalah kau!" dia menunjuk kearah ku. "Satu-satunya yang akan mati hari ini adalah kau sendiri" tanpa harus membuka lemari kaca itu, aku memukul kacanya hingga pecah dan mengambil pedang ku yang terpajang. Saat pedang itu sudah berada di sampingku, rasa sakit itu kembali menusuk bahkan lebih kuat. Aku tersungkur lagi di lantai kayu sambil meringis "Ya Allah tolong lah hambaMu" aku pun berucap istighfar.

"Nampaknya Tuhan yang selalu kalian sebutkan itu tak bisa menolong kau lagi!", dia berjalan mendekat dari tempatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun