Dari kasus tersebut sebagai bentuk contoh kekerasan simbolik yang dimana kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme penyembunyian kekerasaan yang dimiliki dan menjadi sesuatu yang diterima sebagai "yang memang seharusnya demikian". "Yang" menurut Bourdieu itu adalah doxa.Â
Keberadaan doxa diperoleh melalui proses penamaan yang berlangsung terus menerus. Pelaku sosial pun menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar karena kekerasan simbolik menggunakan struktur objektif yang ada di dalam dunia sosial (Rusdiarti, 2003: 39).Â
Kekerasan simbolik tersebut memiliki maksud mendidik, mendisiplinkan, mengarahkan kepada kebaikan, dan seterusnya. Selain itu, kekerasan simbolik yang dilakukan pengurus terhadap santri berupa tindakan yang bersifat kasar.Â
Hal ini dilakukan pengurus terhadap santri baik di dalam maupun di luar Pesantren. Tindakan yang dilakukan oleh pengurus seakan menunjukkan bahwa pengurus tersebut mempunyai modal simbolik. Pada temuan yang ada, kekerasan simbolik terhadap pesantren akan bersifat memaksa.Â
Kekerasan simbolik menurut Bourdie merupakan kekerasan yang lembut dan tak kasat mata. Oleh karena itu, terjadinya kekerasan simbolik ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dan dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi budaya.Â
Menurut konsep yang dikemukakan oleh Bordieu, sekolah sebagai tempat untuk mensosialisasikan habitus kelas dominan sebagai habitus yang alami yang wajar dilakukan. Santri dituntut untuk mematuhi peraturan tata tertib yang ada di Pesantren.Â
Apabila santri melanggar peraturan tersebut, maka akan dikenakan hukuman. Berbeda dengan pengurus yang menetapkan peraturan, seolah-olah pengurus menindas para santri dan berkuasa sehinggan bertindak sewenang-wenang. Hal seperti ini juga menunjukkan kelas sosial di dalam Pesantren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H