Mohon tunggu...
Choirul Hadyi
Choirul Hadyi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Selamat datang dan selamat membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Kekerasan Simbolik di Pesantren Menurut Pemikiran Pierre Bourdieu

27 Oktober 2022   23:07 Diperbarui: 28 Oktober 2022   00:14 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari kasus tersebut sebagai bentuk contoh kekerasan simbolik yang dimana kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme penyembunyian kekerasaan yang dimiliki dan menjadi sesuatu yang diterima sebagai "yang memang seharusnya demikian". "Yang" menurut Bourdieu itu adalah doxa. 

Keberadaan doxa diperoleh melalui proses penamaan yang berlangsung terus menerus. Pelaku sosial pun menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar karena kekerasan simbolik menggunakan struktur objektif yang ada di dalam dunia sosial (Rusdiarti, 2003: 39). 

Kekerasan simbolik tersebut memiliki maksud mendidik, mendisiplinkan, mengarahkan kepada kebaikan, dan seterusnya. Selain itu, kekerasan simbolik yang dilakukan pengurus terhadap santri berupa tindakan yang bersifat kasar. 

Hal ini dilakukan pengurus terhadap santri baik di dalam maupun di luar Pesantren. Tindakan yang dilakukan oleh pengurus seakan menunjukkan bahwa pengurus tersebut mempunyai modal simbolik. Pada temuan yang ada, kekerasan simbolik terhadap pesantren akan bersifat memaksa. 

Kekerasan simbolik menurut Bourdie merupakan kekerasan yang lembut dan tak kasat mata. Oleh karena itu, terjadinya kekerasan simbolik ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dan dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi budaya. 

Menurut konsep yang dikemukakan oleh Bordieu, sekolah sebagai tempat untuk mensosialisasikan habitus kelas dominan sebagai habitus yang alami yang wajar dilakukan. Santri dituntut untuk mematuhi peraturan tata tertib yang ada di Pesantren. 

Apabila santri melanggar peraturan tersebut, maka akan dikenakan hukuman. Berbeda dengan pengurus yang menetapkan peraturan, seolah-olah pengurus menindas para santri dan berkuasa sehinggan bertindak sewenang-wenang. Hal seperti ini juga menunjukkan kelas sosial di dalam Pesantren.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun