Mohon tunggu...
Choirul Hadyi
Choirul Hadyi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Selamat datang dan selamat membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Kekerasan Simbolik di Pesantren Menurut Pemikiran Pierre Bourdieu

27 Oktober 2022   23:07 Diperbarui: 28 Oktober 2022   00:14 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kegiatan di Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Cirebon

Choirul Hadyi, NIM : 21107020073

UTS Teori Sosiologi Modern

Pierre Bourdieu anak pegawai negeri, un fonctionnaire, lahir tanggal 1 April 1930 di Denguin wilayah Barn Timur Laut Prancis. Keluarganya termasuk borjuis kecil. Tahun 1950-an ia masuk Ecole normale superieure di Prancis, satu angkatan dengan Jacques Derinda. 

Ia lulus sebagai seorang agrege de philosophie dan menolak menulis tesis, sebagai rekasi atas sifat otoritas dan tumpulnya pendidikan saat itu. Stelah lulus ia mengajar di sekolah menengah atas. Pada tahun 1956, mendapat panggilan untuk bertugas di Angkatan Bersenjata Prancis selama dua tahun di Aljazair dan mengajar di Universitas Aljazair. Ini merupakan permulaan pengalamannya di filsafat ke ilmu sosial dan politik (Jenkins, 2004:7-11).

Salah satu pemikirannya ialah tentang Teori Kekerasan Simbolik. Menurut Bourdieu (1994), kekerasan simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikendali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Artinya, kekuasaan (baik ekonomi, politik, budaya, atau lainnya) yang memiliki kemampuan untuk tidak dapat dikenali bentuk aslinya, kekerasannya, atau kesewenang-wenangannya.

Muhammad Imanul Haq, beralamat di Desa Jagapura Kidul, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon. Seorang Mahasiswa S1 Bimbingan Konseling Islam di UIN Sunan Kalijaga, yang mempunyali latar belakang pendidikan di PonPes Dar Al-Tauhid Cirebon sebagai narasumber wawancara saya mengenai teori kekerasan simbolik. 

Dalam kutipan wawancara saya, Imanul pernah mengalami kekerasan atau hukuman di pesantren yang biasa mereka kenal dengan sebutan tajiran. Salah satu aturan yang saya ambil yaitu tentang aturan mengenai sholat berjama'ah. 

Menjalankan sholat bagi umat muslim dihukumi wajib, namun tidak harus dilaksanakan secara berjama'ah. Aturan yang ada di dalam PonPes tersebut ketika menjalankan sholat diharuskan secara berjama'ah, ketika tidak menjalankan sholat atau tidak menjalankan sholat secara berjama'ah akan dikenakan hukuman, sehingga dinyatakan tidak hadir atau bisa dikenal  dengan sebutan alfa (tidak melakukan sholat berjama'ah). 

Hukuman yang dijelaskan Imanul disini yaitu ketika mempunyai alfa di atas 5 dalam sebulan akan dikenakan sanksi berkeliling di area santri putri dengan mengalungi kertas bertulisan pelanggaran dan jika mempunyai alfa di atas 10 maka akan dikenakan sanksi botak sambil menjadi tontonan seluruh santri.

Selain itu biasanya sebelum di hukum akan di introgasi terlebih dahulu, di sini biasanya dilakukannya kekerasan seperti pemukulan menggunakan rotan atau kayu dan sedangkan pengurusnya yang melakukan pelanggaran tersebut tidak dikenakan hukuman. Kasus seperti itu yang tanpa kita sadari sebagai keharusan atau biasa disebut aturan.

Dari kasus tersebut sebagai bentuk contoh kekerasan simbolik yang dimana kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme penyembunyian kekerasaan yang dimiliki dan menjadi sesuatu yang diterima sebagai "yang memang seharusnya demikian". "Yang" menurut Bourdieu itu adalah doxa. 

Keberadaan doxa diperoleh melalui proses penamaan yang berlangsung terus menerus. Pelaku sosial pun menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar karena kekerasan simbolik menggunakan struktur objektif yang ada di dalam dunia sosial (Rusdiarti, 2003: 39). 

Kekerasan simbolik tersebut memiliki maksud mendidik, mendisiplinkan, mengarahkan kepada kebaikan, dan seterusnya. Selain itu, kekerasan simbolik yang dilakukan pengurus terhadap santri berupa tindakan yang bersifat kasar. 

Hal ini dilakukan pengurus terhadap santri baik di dalam maupun di luar Pesantren. Tindakan yang dilakukan oleh pengurus seakan menunjukkan bahwa pengurus tersebut mempunyai modal simbolik. Pada temuan yang ada, kekerasan simbolik terhadap pesantren akan bersifat memaksa. 

Kekerasan simbolik menurut Bourdie merupakan kekerasan yang lembut dan tak kasat mata. Oleh karena itu, terjadinya kekerasan simbolik ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dan dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi budaya. 

Menurut konsep yang dikemukakan oleh Bordieu, sekolah sebagai tempat untuk mensosialisasikan habitus kelas dominan sebagai habitus yang alami yang wajar dilakukan. Santri dituntut untuk mematuhi peraturan tata tertib yang ada di Pesantren. 

Apabila santri melanggar peraturan tersebut, maka akan dikenakan hukuman. Berbeda dengan pengurus yang menetapkan peraturan, seolah-olah pengurus menindas para santri dan berkuasa sehinggan bertindak sewenang-wenang. Hal seperti ini juga menunjukkan kelas sosial di dalam Pesantren.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun