Mohon tunggu...
Haditya Endrakusuma
Haditya Endrakusuma Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Lepas

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tragedi

22 Januari 2023   16:20 Diperbarui: 22 Januari 2023   21:00 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deterministic entitlement; suatu ilusi perasaan yang mengira mampu mengontrol semua yang terjadi, merasa dunia berhutang padanya karena dia telah berbuat sesuatu.

"..you can be everything, nobody can define you except yourself, work harder play harder."  

Sebuah nilai rasa yang lahir dari rahim existensialisme di era postmo, hanya akan berujung pada "kematian". Mati saat dipuncak karena mabuk euforia kemenangan atau mati karena tenggelam di dasar dalam depresi. Wajar kalau Nietzsche karena tak mampu menghadapi realita hidup yang terbatas; umur, rejeki, jodoh & kematian, lantas mengkhayal; 

"..sebetulnya yang terbaik untuk kita, sayangnya ia di luar jangkauan kita, yaitu jangan dilahirkan, jangan ada, jadilah tiada, tapi barangkali pilihan terbaik kedua adalah segeralah mati..!".

Jadi setelah membunuh "Tuhan", eksistensialisme pun mulai mabuk "eksistensi diri" manusia. Diktum lawas Apoteosi menyatakan; "God was humanized and Man was Deified". 

Zarathustra pun kemudian berdendang; 

"..dan apa yang kalian sebut sebagai dunia, seharusnya terlebih dahulu diciptakan oleh kalian ialah : nalar kalian, rupa kalian, kehendak kalian, untuk menjadi cinta kalian sendiri! Dan sebenarnya, untuk kesucian kalian, wahai kalian makhluk yang mengetahui !". 

Saking gandrungnya terhadap kemolekan "Kemanusiaan", tiba-tiba tragedi menghampirinya, ibu dan adiknya mati. Ia pun frustasi dan depresi, sang "dalang" Zarathustra pun kemudian di vonis sakit jiwa. Pada akhirnya semua menjadi jelas, saat Karl Marx berkata; "Agama adalah Candu", sebetulnya ia sedang mematut diri didepan cermin; 

"aku sedang mabuk euforia jatuh cinta dengan diriku sendiri, mencandui kemanusianku". 

Ia pun pada akhirnya juga mati berkalang nestapa dan depresi.

Eksistensialisme bergulat dengan pertanyaan seputar makna kehidupan dan kehadiran manusia. Salah satu yang sering diperbincangkan adalah makna kehidupan manusia dan penderitaan (teodicy). Dalam mitos Sisipus, sering dilambangkan betapa sia-sia hidup manusia yang pada hakikatnya seperti sisipus yang terhukum: ditakdirkan hidupnya tak melihat tujuan selain mendorong batu besar dari bawah gunung menuju puncak gunung, namun setiap kali batu besar berhasil dibawa ke puncak gunung, batu itu menggelinding ke bawah lagi. Sisipus yang tak punya tujuan lain, ke bawah dan mendorong batu besar itu ke puncak lagi, dan setiap kali terjadi hal yang sama tak berhenti.

Berawal dari "Tragedi" dan berakhir dengan "Tragedi". Begitu kesimpulan Edmund Husserl  ketika menyelami krisis filosofis manusia di era post modernisme.  Tragedi, menjadi "penyakit" yang terus dicarikan "penyembuhannya". Sebab semua pasti ingin lepas dari kesengsaraan, keterkungkungan, keterpurukan. Sementara kata Descartes; Cogito ergo sum, semua tentang "ide". Maka wajar jika kemudian kita digiring untuk berkesimpulan bahwa "tragedi" adalah penyakit yang menyerang fikiranmu. Berawal dan berakhir dari fikiran, jadi yang "abadi" hanyalah "ide". Susah, senang, derita, bahagia, baik-jahat, hanyalah soal "ide". Oleh sebab itu manusia harus dibebaskan dari "ide" soal "tragedi" untuk menuju manusia yang "tercerahkan", eksistensialisme menyebutnya "Ubermensch". "Keindahan" manusia pun dipuja, ini "obat" untuk kesehatan jiwa katanya. 

Dan manusia pun berbondong menyongsongnya penuh harap tanpa sadar bahwa sesungguhnya masuk perangkap. Persis seperti para Manula borjuis mencari "kebahagiaan abadi", tanpa sadar "harapan" itu dieksploitasi oleh "ide" sang Dokter "gila" Heinreich Volmer dalam lakon "A Cure for Wellness". Yah.. Dokter "gila" itu pun sebetulnya terobsesi mencapai "kebahagiaan abadi"nya sendiri, berawal dari "frustasi" atas "penderitaannya", ia pun akhirnya "tega" menghisap "darah" impian orang-orang "frustasi" yang menjadi pasiennya. Tragis..!

Adakah hidup itu sia-sia belaka apalagi ketika dihadapkan pada fakta penderitaan yang seringkali kasat mata tidak adil, penderitaan menimpa siapa saja, kadang terasa lebih sering orang baik menderita sementara orang jahat justru baik-baik saja? Mengaitkan kebahagiaan dengan kebenaran terasa absurd jika mengingat hal-hal demikian. Sementara Hidup tak mungkin sia-sia bagi orang beriman. Ada potongan ayat QS 11:119 yang menyinggung dari sisi eksistensial;

"Dan manusia senantiasa berselisih kecuali mereka yang dirahmati Tuhan. Dan untuk itulah mereka diciptakan"

Pada frase "untuk itulah manusia diciptakan" di ayat tersebut. Terlepas dari khilafiyah dalam menafsirkan frasa tersebut, banyak mufasir otoritatif mengatakan artinya adalah "untuk rahmatlah manusia diciptakan" sebagaimana dikatakan dalam satu riwayat oleh Mujahid, Addhahak dan Al Hasan. Jadi makna hidup ini tak sia-sia bukan hanya karena ada tugas dan pertanggungjawaban saja tapi lebih dari itu, manusia hidup tidak sia-sia sebab eksistensinya ada untuk rahmat. Pada sisi inilah kita menjadi faham, perbedaan antara orang yang beriman dengan yang tidak. 

Saat "Tragedi" terjadi, orang yang beriman tak lebih kuat dari orang lain. Secara manusiawi semua manusia posisinya sama, sama rapuh dan rentan. Tak ada klaim orang beriman lebih kebal dari rasa sakit dan derita. Bahkan orang beriman selalu takut dan kemudian berdoa (QS 2:286) agar dihindarkan dari musibah yang diluar kekuatan iman untuk bersabar dan menanggungnya;

Namun diluar itu, bagi orang yang beriman saat perasaan tak berdaya, remuk dalam kesedihan ketika tragedi menimpa, menyadarkan dirinya bahwa manusia itu memang terbatas dan manusia bukanlah pusat dari segala kehidupan.

Terlebih ada satu hadits dalam riwayat Bukhori dan Muslim, menarik untuk di cermati terkait dengan kesusahan, kesedihan saat orang yang beriman tertimpa "tragedi";

"Tidaklah seorang muslim tertimpa nashob (kecapekan), washob (sakit yang menaun), hammun (sakit hati karena kecewa), huznun (kesedihan ditinggal mati orang yang dicintai), adza (kesusahan akibat fitnah & semacamnya), dan ghommun (kesedihan yang amat sangat), bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya"

Korelasi antara tragedi yang ditimpa orang beriman dengan penghapusan dosa dalam hadits tersebut menunjukkan bagaimana kehidupan itu merupakan perwujudan dari sifat "Rahim" dari Sang Pencipta. Sifat Ar-Rohim berasal dari kata rohmah. Makna singkat rohmah adalah belas kasih. Kata ibn Asyur (at-Tahriir wa Tanwiir : 1/169):

"Kata rohmah dalam bahasa Arab dibuat untuk menjelaskan makna belas kasih hati dan kasih sayang terhadap makhluk hidup yang membuat orang yang memiliki sifat tersebut besikap lemah lembut terhadap orang yang disayangi, berbuat baik kepadanya, menghalau bahaya darinya, dan menolongnya menghadapi berbagai kesulitan"

Lebih spesifik lagi, rohmah itu adalah bentuk belas kasih yang bersifat mutlak tanpa membedakan apakah diungkapkan dengan cara yang menyakiti orang yang disayangi ataukah dengan cara yang tidak menyakiti orang yang disayangi. Ini yang membedakan dengan ro'fah, karena ro'fah itu adalah belas kasih yang diungkapkan dengan cara yang tidak menyakiti orang yang disayangi. Al-'Askari berkata (al-Fariiq al-Lughawiyah : h. 246 - 247) ;

"Ro'fah lebih kuat daripada rohmah dari sisi kaifiyyah karena ro'fah itu memberikan nikmat yang bebas dari rasa sakit, sementara rohmah adalah bentuk memberikan nikmat secara mutlak yang kadang disertai ketidaksukaan (dari orang yang disayangi) dan rasa sakit untuk kebaikan"

Jadi bagi orang yang beriman, tragedi adalah keniscayaan sepaket dengan desain kehidupan yang bekerja dengan landasan mekanisme deterministic sebab-akibat. Pada akhirnya, pemahaman orang yang beriman tersebut hanya bisa direkonsiliasi, difahami sepenuhnya bila kita menyakini kehidupan itu ada tujuannya, ada maksudnya, tak sia-sia. Bahwa kehidupan itu persis kalimat Istirja';  innalillahi wa Inna ilaihi roji'un. Dengan demikian "Tragedi" merupakan peringatan yang berguna bagi manusia itu sendiri, yakni berguna sebagai;  Peringan pelipur duka dan menumbuhkan rasa welas asih manusia pada dunia diluar dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun