Deterministic entitlement; suatu ilusi perasaan yang mengira mampu mengontrol semua yang terjadi, merasa dunia berhutang padanya karena dia telah berbuat sesuatu.
"..you can be everything, nobody can define you except yourself, work harder play harder." Â
Sebuah nilai rasa yang lahir dari rahim existensialisme di era postmo, hanya akan berujung pada "kematian". Mati saat dipuncak karena mabuk euforia kemenangan atau mati karena tenggelam di dasar dalam depresi. Wajar kalau Nietzsche karena tak mampu menghadapi realita hidup yang terbatas; umur, rejeki, jodoh & kematian, lantas mengkhayal;Â
"..sebetulnya yang terbaik untuk kita, sayangnya ia di luar jangkauan kita, yaitu jangan dilahirkan, jangan ada, jadilah tiada, tapi barangkali pilihan terbaik kedua adalah segeralah mati..!".
Jadi setelah membunuh "Tuhan", eksistensialisme pun mulai mabuk "eksistensi diri" manusia. Diktum lawas Apoteosi menyatakan;Â "God was humanized and Man was Deified".Â
Zarathustra pun kemudian berdendang;Â
"..dan apa yang kalian sebut sebagai dunia, seharusnya terlebih dahulu diciptakan oleh kalian ialah : nalar kalian, rupa kalian, kehendak kalian, untuk menjadi cinta kalian sendiri! Dan sebenarnya, untuk kesucian kalian, wahai kalian makhluk yang mengetahui !".Â
Saking gandrungnya terhadap kemolekan "Kemanusiaan", tiba-tiba tragedi menghampirinya, ibu dan adiknya mati. Ia pun frustasi dan depresi, sang "dalang" Zarathustra pun kemudian di vonis sakit jiwa. Pada akhirnya semua menjadi jelas, saat Karl Marx berkata; "Agama adalah Candu", sebetulnya ia sedang mematut diri didepan cermin;Â
"aku sedang mabuk euforia jatuh cinta dengan diriku sendiri, mencandui kemanusianku".Â
Ia pun pada akhirnya juga mati berkalang nestapa dan depresi.
Eksistensialisme bergulat dengan pertanyaan seputar makna kehidupan dan kehadiran manusia. Salah satu yang sering diperbincangkan adalah makna kehidupan manusia dan penderitaan (teodicy). Dalam mitos Sisipus, sering dilambangkan betapa sia-sia hidup manusia yang pada hakikatnya seperti sisipus yang terhukum: ditakdirkan hidupnya tak melihat tujuan selain mendorong batu besar dari bawah gunung menuju puncak gunung, namun setiap kali batu besar berhasil dibawa ke puncak gunung, batu itu menggelinding ke bawah lagi. Sisipus yang tak punya tujuan lain, ke bawah dan mendorong batu besar itu ke puncak lagi, dan setiap kali terjadi hal yang sama tak berhenti.