Cerita ini akan aku mulai pada saat itu. Sekitar tanggal 10 Desember 2020, semua dimulai saat aku bertemu dengan bapak ku yang kebetulan sedang duduk mengobrol bersama dengan temannya. Mereka berdua memang terkenal sangat akrab. Bapak ku merupakan orang yang mudah sekali bersosialisasi dengan banyak orang. Tak heran jika dia memiliki banyak teman dimana - mana. Bahkan aku sudah tidak bisa menghitung jumlah teman yang ia miliki.
Saat itu, teman Bapakku ini menyampaikan sesuatu kepadaku. Bahwa nanti, di tanggal 17 Desember akan ada acara "Mubaligh"Â yang akan dilaksanakan oleh satu ormas islam terbesar kedua di Indonesia, yakni Muhammadiyah. Aku sempat meminta izin kepada bapak ku untuk bisa mengikuti acara itu, dan bapak ku mengizinkannya. Ia pun pada akhirnya mendaftarkan namaku dari 3 orang perwakilan pemuda yang akan dikirimkan ke wilayah Setu untuk melaksanakan kegiatan pelatihan "Mubaligh"Â itu.
Namun seiring berjalannya waktu, hanya 2 orang saja yang mampu ikut dalam pelatihan itu. Aku, dan anak dari teman bapak ku yang kupanggil mas Affan. Karena teman kami yang satu lagi tidak bisa mengikuti kegiatan ini dengan alasan adanya pemilihan kepala desa yang kebetulan saat itu sedang diselenggarakan. Alhasil, di tanggal 17 Desember sekitar hari Jum'at, aku dan mas Affan memutuskan untuk berangkat kesana.Â
Perjalanan yang cukup menyenangkan, melewati jalan raya Narogong yang terkenal dengan jalanan nya yang jelek, menyaksikan banyak sekali truk pengangkut sampah yang mengarah ke Bantargebang, dan juga hujan yang turun tidak terlalu deras pada saat itu. Bagaimanapun juga, aku dan mas Affan berhasil tiba dengan selamat di tempat itu dan langsung disambut oleh rekan - rekan lain yang kebetulan belum lama datang di tempat itu.
Kami berdua pun melaksanakan salat Jum'at di tempat itu bersama dengan rekan - rekan lainnya yang tersebar dari sekitar wilayah Jabodetabek. Aku banyak sekali berkenalan dengan mereka. Mereka semua hadir dari berbagai macam latar belakang. Ada yang berprofesi sebagai guru, sebagai mahasiswa, bahkan kalau tidak salah ada juga yang berprofesi sebagai dosen. Namun, aku tidak terlalu akrab dengan semua orang di sana. Namun seiring berjalannya waktu, aku cukup dikenal sebagai anggota paling aktif di tempat itu.
Kami melakukan banyak sekali kegiatan disana. Dari mulai mengaji Al - Qur'an, mendengarkan tausiyah, mengikuti kuliah yang disampaikan oleh tokoh - tokoh Muhammadiyah atau bahkan pejabat pemerintahan. Aku masih ingat waktu itu, almarhum Menteri Pertanahan pak Ferry Mursyidan Baldan juga hadir pada saat itu untuk memberikan perkuliahan singkat kepada kami semua. Baru pertama kali aku merasakan menjadi mahasiswa dadakan.
Menurutku, itu cukup membosankan. Maklum, aku hanyalah anak SMP umur 15 tahun pada saat itu yang masih berpikir untuk bermain - main dan lebih sering tidur didalam kelas ketika mendengarkan penjelasan dari guru. Kupikir menjadi mahasiswa itu berbeda dengan di sekolah, ternyata sama saja. Ngantuk juga, males juga, dan ya seperti itulah kira - kira.
Kembali ke cerita. Selama aku dan mas Affan berada disana, kami sangat menikmati suasana pagi yang tentram. Meski harus diterpa oleh pandemi COVID-19 yang melanda saat itu. Akan tetapi, kami tidak terlalu memikirkannya. Aku sering sekali berkomunikasi dengan ibuku di rumah dan ia selalu menasehatiku agar tidak lupa ibadah dan jaga diri disana. Semua berjalan dengan baik sampai kami mengakhiri pelatihan kami dan melakukan pelantikan serta perpisahan dan penutupan acara pada tanggal 20 Desember.
Semua berjalan baik - baik saja, sampai pada akhirnya aku mendapat telepon dari ibuku yang berkata, "Nak, bapak dirawat di rumah sakit". Aku cukup kaget mendengar berita itu. Karena saat itu banyak sekali berita yang tersebar bahwa masuk rumah sakit adalah bunuh diri. Rumah sakit sama dengan mati. Kenapa bisa begitu? Karena banyak sekali kasus kematian akibat COVID-19 yang terjadi di rumah sakit. Tapi ibuku berpesan dalam telepon itu bahwa, "Tolong jangan kasih tahu ke siapapun. Termasuk mas Affan". Aku pun mengiyakan perintah dari ibuku.
Aku pun menyempatkan diri untuk menghubungi bapak ku yang kini sedang dirawat di salah satu rumah sakit yang ada di Jakarta. Aku menelepon untuk memastikan kebenaran berita yang disampaikan oleh ibuku lewat telepon sebelumnya. Aku menelepon dan menanyakan bagaimana kondisi bapak ku saat itu dan ia hanya berkata, "Doakan saja semoga bapak cepat sehat. Kamu jaga kesehatan ya", begitu katanya.Â
Selesai dari sana, seluruh rekan - rekan mubaligh satu persatu mulai meninggalkan tempat itu. Tanpa diduga, mas Affan mengatakan kepadaku bahwa bapak ku sedang dirawat di rumah sakit. Ternyata, ia sudah tahu lebih awal dibandingkan aku dan aku pun hanya bisa mengiyakan berita itu. Pada akhirnya, kami berdua pun bergegas untuk pulang ke rumah dengan menggunakan motor.
Di tengah perjalanan itu, aku masih ingat ketika aku menyaksikan potret kemiskinan yang sangat amat jelas didepan mataku. Betapa banyak orang yang tertidur didepan pintu toko yang tutup dan di pinggir - pinggir jalan yang alas tidurnya hanya berlandaskan tanah di tengah dingin nya angin malam. Akan sangat panjang jika aku menggambarkan hal itu.
Singkat cerita, kami berdua pun pada akhirnya sampai di kompleks kami dan memutuskan untuk pulang ke rumah masing - masing. Kedatanganku disambut dengan wajah warga yang ketakutan. Banyak sekali dari warga perumahan tempat kutinggal bahkan tetanggaku sendiri menutup hidungnya saat melewati rumahku. Seakan takut tertular oleh virus yang "diduga" kami sudah terjangkit setelah bapak ku dirawat di rumah sakit.
Jujur, aku sangat marah pada saat itu. Bagaimana bisa mereka memperlakukan orang - orang yang terkena COVID-19 sebagai pembawa sial yang harus dijauhi dan dikucilkan. Bukannya dibantu atau diberikan dukungan moral yang baik. Ingin sekali aku berkata kasar kepada mereka yang menganggap diriku, dan keluargaku sebagai "pembawa sial" karena sudah terjangkit virus COVID -19.Â
Pada akhirnya, seluruh keluarga kami harus di isolasi mandiri oleh pihak kesehatan kecamatan tempat kami tinggal. Sehari - hari, aku hanya bisa menatap keluar lewat jendela, menyaksikan jalan - jalan rumah kami yang sering dilewati oleh banyak orang dengan menggunakan masker atau menutup mulut dan hidung mereka menggunakan kerah baju mereka. Seringkali, rumahku disemprot dengan cairan disinfektan yang entah apa maksud dan tujuannya mereka melakukan itu. Rasanya, aku, ibu dan kedua adikku kini sedang berada di dalam penjara yang ternyata adalah rumah kami sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H