Di tengah perjalanan itu, aku masih ingat ketika aku menyaksikan potret kemiskinan yang sangat amat jelas didepan mataku. Betapa banyak orang yang tertidur didepan pintu toko yang tutup dan di pinggir - pinggir jalan yang alas tidurnya hanya berlandaskan tanah di tengah dingin nya angin malam. Akan sangat panjang jika aku menggambarkan hal itu.
Singkat cerita, kami berdua pun pada akhirnya sampai di kompleks kami dan memutuskan untuk pulang ke rumah masing - masing. Kedatanganku disambut dengan wajah warga yang ketakutan. Banyak sekali dari warga perumahan tempat kutinggal bahkan tetanggaku sendiri menutup hidungnya saat melewati rumahku. Seakan takut tertular oleh virus yang "diduga" kami sudah terjangkit setelah bapak ku dirawat di rumah sakit.
Jujur, aku sangat marah pada saat itu. Bagaimana bisa mereka memperlakukan orang - orang yang terkena COVID-19 sebagai pembawa sial yang harus dijauhi dan dikucilkan. Bukannya dibantu atau diberikan dukungan moral yang baik. Ingin sekali aku berkata kasar kepada mereka yang menganggap diriku, dan keluargaku sebagai "pembawa sial" karena sudah terjangkit virus COVID -19.Â
Pada akhirnya, seluruh keluarga kami harus di isolasi mandiri oleh pihak kesehatan kecamatan tempat kami tinggal. Sehari - hari, aku hanya bisa menatap keluar lewat jendela, menyaksikan jalan - jalan rumah kami yang sering dilewati oleh banyak orang dengan menggunakan masker atau menutup mulut dan hidung mereka menggunakan kerah baju mereka. Seringkali, rumahku disemprot dengan cairan disinfektan yang entah apa maksud dan tujuannya mereka melakukan itu. Rasanya, aku, ibu dan kedua adikku kini sedang berada di dalam penjara yang ternyata adalah rumah kami sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H