Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Pendidikan, Analis Data, Konsultan Statistik, Pemerhati Hal Remeh Temeh

Aktivitas sehari-hari sebagai dosen statisika, dengan bermain tenis meja sebagai hobi. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Antara Restu dan Cinta

3 Februari 2025   07:26 Diperbarui: 3 Februari 2025   07:26 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Antara Restu dan Cinta

(Diadaptasi dari kisah nyata, semoga kalian bahagia)

Sania menatap layar ponselnya yang gelap. Tidak ada pesan baru dari Arfan. Biasanya, pagi-pagi seperti ini, dia sudah mengirimkan doa dan harapan-harapan kecil. Tapi pagi ini sunyi. Sunyi yang menyesakkan.

Semalam mereka bertengkar. Lagi. Bukan karena tak saling mencintai, justru karena mereka terlalu mencintai. Namun cinta tanpa restu seperti burung tanpa sayap---ingin terbang, tapi tak bisa.

Sania tahu Arfan lelah. Ia pun begitu. Setahun lebih mereka berjuang meyakinkan orang tua masing-masing, namun hasilnya nihil. Sania ingin menyerah, tapi bagaimana caranya melepaskan seseorang yang menjadi separuh jiwanya?

"Kamu yakin masih mau berjuang?" tanya Arfan suatu sore, suaranya serak di ujung telepon.

Sania terdiam. Dadanya sesak.

"Jika kita menyerah, kita kehilangan satu sama lain."

"Tapi jika kita terus bertahan, kita kehilangan ridho orang tua," jawab Arfan lirih.

Lama mereka terdiam. Hanya napas tertahan dan detak jantung yang terdengar. Cinta mereka bukan sekadar ingin memiliki, tapi juga ingin membahagiakan orang-orang yang mereka cintai. Namun, apakah itu berarti harus mengorbankan kebahagiaan mereka sendiri?

Orang tua Sania ingin agar ia menunggu kakaknya. Kakak perempuan yang sampai saat ini belum bertemu jodohnya. Belum jelas. Sedangkan orang tua Arfan ingin dia lebih dulu membantu adik-adiknya. Kedua orang tua mereka ingin mereka menunggu. Menunggu sampai entah kapan.

"Kalau kamu menikah duluan, kakakmu bagaimana?" ucap ibunya dengan nada dingin.

"Tapi Bu, Kakak sendiri sudah mengizinkan..."

"Bukan izin yang kami butuhkan. Kami ingin kamu menunggu!"

Sania terdiam. Ia tidak ingin membantah. Tidak ingin menyakiti hati ibunya. Tapi bukankah hatinya sendiri sudah remuk? Bingung, sedih, tak tahu harus bagaimana. Ia hanya bisa menangis dalam diam. Semua cara sudah ditempuhnya.

***

Arfan mendekati ibunya dengan hati-hati.

"Ibu... aku bisa tetap membantu adik-adik setelah menikah."

Ibunya menatapnya lama. "Pernikahan bukan hanya tentang kalian berdua, Fan. Ada keluarga yang harus dipikirkan."

"Tapi Bu..."

"Tidak ada tapi! Kamu harus sabar."

Sabar. Kata itu semakin terasa menyesakkan. Karena sabar yang diminta bukan hanya menunggu, tetapi juga menahan perasaan yang semakin sulit dibendung. Bukankah selama ini ia sudah sabar? Sabar seperti apa lagi? Sementara godaan zina selalu mengintai, kapanpun. Dimanapun. Ia sudah merasa tidak kuat. Pertahanannya tak sekuat fisiknya yang kekar.

***

Malam itu Sania menangis sejadi-jadinya di sajadahnya. Memohon kepada Allah agar dibukakan jalan. Arfan pun begitu. Keduanya terhimpit antara restu dan cinta. Ingin berbakti pada orang tua, tapi juga ingin menjalani kehidupan yang diridhai Allah.

Suatu hari, mereka memutuskan untuk bertemu di masjid. Duduk berdua, menunduk dalam diam.

"Aku takut kehilangan kamu," lirih Sania.

Arfan tersenyum pahit. "Aku lebih takut kehilangan ridho Allah."

Air mata Sania mengalir.

"Apa yang harus kita lakukan, Fan?"

Arfan menghela napas panjang. "Kita sudah berusaha. Kita sudah meminta bantuan keluarga, dan juga guru. Tapi jika mereka tetap tak mau mengerti..."

Sania menunggu.

"Aku rasa kita harus menikah. Dengan atau tanpa restu."

Sania terkejut. "Kamu serius?"

"Apa yang kita lakukan sekarang lebih berbahaya. Kita terlalu dekat. Kita bisa jatuh ke dalam dosa. Aku takut, Sania. Aku takut Allah murka."

Sania menunduk. Kata-kata Arfan benar. Cinta yang tidak terikat halal akan semakin mudah tergelincir. Tapi...

"Orang tua kita?"

"Mungkin mereka akan marah. Mungkin mereka akan kecewa. Tapi aku yakin, seiring waktu, mereka akan menerima."

Air mata Sania jatuh. Ini bukan keputusan mudah. Tapi ini juga bukan tentang keinginan mereka semata. Ini tentang menjaga kehormatan, tentang menjalani hidup sesuai tuntunan.

"Bismillah," bisik Sania.

***

Hari itu, di sebuah masjid kecil, mereka menikah. Tanpa pesta mewah, tanpa gemerlap dekorasi. Hanya dengan saksi, wali, dan doa-doa yang melangit. Tidak ada senyum dari orang tua. Tidak ada restu yang mengiringi. Tapi mereka percaya, seiring waktu, ridho itu akan datang.

Namun, hari pertama pernikahan mereka tidak semanis yang dibayangkan. Telepon Sania penuh dengan pesan marah dari keluarganya. Ibunya menangis, ayahnya tidak mau bicara. Begitu pula dengan keluarga Arfan.

Hari-hari berikutnya diwarnai air mata. Sania merindukan keluarganya. Arfan merasa bersalah. Tapi mereka saling menguatkan. Saling mengingatkan bahwa niat mereka suci.

Minggu pertama, Sania mencoba menelepon ibunya. Tidak diangkat.

Minggu kedua, ia mengunjungi rumahnya. Tidak diizinkan masuk.

Bulan pertama, Arfan mengunjungi orang tuanya. Ayahnya mengusirnya.

Mereka bersabar. Mereka terus berusaha. Hingga bulan keempat, saat Sania jatuh sakit. Ibunya datang.

Sania menangis di pelukan ibunya.

"Maafkan aku, Bu..."

Ibunya pun menangis. "Ibu marah karena ingin kamu bahagia, Nak. Tapi Ibu lupa, kebahagiaan bukan Ibu yang tentukan."

Dan saat itulah, perlahan, restu mulai datang. Tidak seketika. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi cinta dan kesabaran selalu menemukan jalannya.

Kini, mereka tahu. Restu bukan sesuatu yang didapat dengan paksa. Tapi sesuatu yang diperjuangkan dengan cinta dan kesabaran.

Dan cinta yang benar, selalu menemukan jalannya.

(Buat mereka yang sedang berjuang membangun keluarga kecil, sertakan Allah dalam setiap perjuanganmu. Ridho Allah terletak pada ridho orang tua, jadi teruslah berbuat baik kepada mereka. Dalam setiap tindakan mereka, sekonyol apapun dalam pandanganmu, terkandung cinta di dalamnya. Selalu sukses buat kalian).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun