Sania terkejut. "Kamu serius?"
"Apa yang kita lakukan sekarang lebih berbahaya. Kita terlalu dekat. Kita bisa jatuh ke dalam dosa. Aku takut, Sania. Aku takut Allah murka."
Sania menunduk. Kata-kata Arfan benar. Cinta yang tidak terikat halal akan semakin mudah tergelincir. Tapi...
"Orang tua kita?"
"Mungkin mereka akan marah. Mungkin mereka akan kecewa. Tapi aku yakin, seiring waktu, mereka akan menerima."
Air mata Sania jatuh. Ini bukan keputusan mudah. Tapi ini juga bukan tentang keinginan mereka semata. Ini tentang menjaga kehormatan, tentang menjalani hidup sesuai tuntunan.
"Bismillah," bisik Sania.
***
Hari itu, di sebuah masjid kecil, mereka menikah. Tanpa pesta mewah, tanpa gemerlap dekorasi. Hanya dengan saksi, wali, dan doa-doa yang melangit. Tidak ada senyum dari orang tua. Tidak ada restu yang mengiringi. Tapi mereka percaya, seiring waktu, ridho itu akan datang.
Namun, hari pertama pernikahan mereka tidak semanis yang dibayangkan. Telepon Sania penuh dengan pesan marah dari keluarganya. Ibunya menangis, ayahnya tidak mau bicara. Begitu pula dengan keluarga Arfan.
Hari-hari berikutnya diwarnai air mata. Sania merindukan keluarganya. Arfan merasa bersalah. Tapi mereka saling menguatkan. Saling mengingatkan bahwa niat mereka suci.