Pendidikan di Indonesia kembali menorehkan luka. Kali ini, bukan soal rendahnya peringkat literasi atau minimnya fasilitas sekolah, tetapi masalah yang jauh lebih mendasar: adab dan moralitas. Saat ini beredar sebuah video viral menampilkan tiga siswa yang dengan entengnya mengeroyok seorang guru di dalam kelas. Ada yang memegangi, ada yang memukul. Adegan ini lebih mirip tontonan gladiator di era Romawi, bukan sebuah kelas yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu. Ada apa ini?
Ketika Guru Tak Lagi Dimuliakan
Dulu, seorang guru adalah sosok yang dihormati. Ada ungkapan, "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa." Namun kini, rasanya lebih pantas disebut "pahlawan tanpa perlindungan." Mengajarkan ilmu sudah sulit, kini guru juga harus menghadapi ancaman fisik dari siswa sendiri. Fenomena ini menandakan adanya perubahan drastis dalam pola pikir generasi muda. Tidak cukupkah orang tua dan sekolah menanamkan nilai-nilai hormat dan sopan santun?
Beberapa dekade lalu, murid yang ditegur atau dihukum oleh guru akan lebih takut kepada orang tuanya karena sadar bahwa mereka salah. Kini, justru orang tua sering menjadi pembela pertama anak mereka, bahkan tak jarang melaporkan guru ke polisi karena dianggap terlalu keras dalam mendidik. Bukan tidak mungkin, dalam kasus pengeroyokan ini, akan ada orang tua yang justru mencari alasan untuk membela tindakan anaknya dengan dalih 'kesalahan guru dalam mengajar.'
Sekolah, Keluarga, dan Negara: Semua Gagal?
Jika kita melihat lebih dalam, kejadian ini bukan hanya tentang tiga siswa yang berani menganiaya gurunya. Ini adalah gejala dari kegagalan sistem yang lebih besar. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, gagal membentuk karakter siswa. Orang tua, sebagai pendidik utama di rumah, gagal menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak mereka. Dan negara, yang bertanggung jawab atas pendidikan nasional, gagal menciptakan ekosistem pembelajaran yang sehat.
Di tengah hiruk-pikuk perubahan kurikulum yang sering kali lebih sibuk dengan pergantian nama dan konsep yang terdengar canggih, ada satu aspek yang diabaikan: pendidikan karakter. Apa gunanya siswa jago matematika jika mereka tidak tahu bagaimana menghormati orang lain? Apa gunanya penguasaan teknologi jika tidak ada kesadaran etika dalam menggunakannya? Sekolah-sekolah kini lebih sibuk mengejar angka ketimbang membentuk manusia.
Ironi Pendidikan: Fokus Akademik, Lupa Moral
Banyak yang menganggap bahwa pendidikan di Indonesia hanya berorientasi pada angka: nilai ujian, peringkat sekolah, atau persentase kelulusan. Padahal, pendidikan seharusnya lebih dari itu. Di negara-negara maju, siswa diajarkan bukan hanya tentang akademik, tetapi juga tentang etika, disiplin, dan tanggung jawab. Sementara di sini? Kita terlalu sibuk dengan Ujian Nasional (dulu) dan Asesmen Nasional (sekarang), tanpa pernah serius membahas bagaimana cara membangun generasi yang beradab.
Jika ada yang ingin menyalahkan guru karena kurangnya pengajaran moral di sekolah, mari kita pikirkan sejenak: bagaimana seorang guru bisa fokus mendidik karakter ketika mereka sendiri sering kali diperlakukan sebagai 'pelayan' di sekolah? Dengan gaji yang pas-pasan, beban kerja yang berat, serta tuntutan administratif yang tidak masuk akal, guru akhirnya lebih banyak sibuk mengisi laporan ketimbang membentuk karakter murid. Lalu, ketika muncul insiden seperti ini, siapa yang pertama kali disalahkan? Guru juga.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, sekolah harus kembali menempatkan pendidikan karakter sebagai prioritas utama. Ini bukan sekadar tambahan dalam kurikulum, melainkan inti dari pendidikan itu sendiri. Guru perlu diberikan keleluasaan untuk menegakkan disiplin tanpa takut dikriminalisasi.
Kedua, orang tua harus sadar bahwa tanggung jawab mendidik anak bukan hanya milik sekolah. Jangan hanya sibuk dengan gawai dan pekerjaan, lalu menyerahkan sepenuhnya pembentukan karakter anak kepada guru. Hormat, sopan santun, dan tanggung jawab seharusnya sudah ditanamkan sejak dini di rumah.
Ketiga, negara harus serius membenahi sistem pendidikan. Tidak cukup hanya mengganti nama kurikulum atau menambah anggaran, tetapi harus ada kebijakan yang benar-benar melindungi guru. Jika seorang polisi yang melakukan tindakan tegas dalam menjalankan tugasnya bisa mendapatkan perlindungan hukum, mengapa seorang guru yang mendisiplinkan murid justru sering kali menjadi korban?