nasi gudangan", suara temanku terdengar mencoba menahanku yang sudah siap-siap mau pulang. Aku mengangguk antusias. Ini bukan pertemuan pertamaku dengan nasi gudangan. Sejujurnya, aku sudah lama gak makan nasi gudangan. Padahal nasi gudangan banyak di sekitar. Entah kapan terakhir kali aku menyantapnya, lupa. Kali ini aku berkesempatan menyantapnya lagi.
"Tadz, jangan pulang dulu ya. Ini istri lagi bikinAku pun duduk lagi, menunggu nasi gudangan dihidangkan. Buat yang belum tahu, nasi gudangan itu makanan khas dari Jawa Tengah. Nasi putih hangat disandingkan dengan urap-urap sayuran yang segar dan sambal kelapa yang pedasnya nampol. Ditambah lagi lauk pendamping seperti tempe, mendoan atau telur rebus, nikmatnya sudah bisa dibayangkan hanya dengan menghirup aromanya.
Tak lama kemudian, seporsi nasi gudangan pun tersaji di hadapan. Nasi putih hangat disandingkan dengan urap-urap sayuran yang berwarna-warni. Sayur-sayuran yang disiram dengan sambal kelapa yang menggugah selera. Sebagai pelengkap, ada lauk tempe yang renyah menambah nikmatnya sajian. Â Aku pun menyantapnya dengan lahap. Â
Kenangan dengan Nasi Gudangan
Menikmatinya lagi, kenangan masa kecil langsung berhamburan. Aku kembali teringat masa-masa, saat semuanya masih sangat sederhana. Saat belum ada gadget, jauuuhhh sebelum gadget muncul. Nonton TV pun rame-rame, karena dalam 1 kampung paling hanya 1 atau 2 orang yang punya TV, masih pakai aki. Dan nasi gudangan saat itu menjadi perekat yang mendekatkan. Ada teman yang ulang tahun, bikinnya nasi gudangan di wadah besar, dinikmati rame-rame. Nikmat dan menyenangkan. Kadang saat bancaan, nasi gudangan digelar di atas daun-daun pisang yang disusun memanjang. Sederhana tapi bermakna. Apapun latar belakang kami, semuanya sama di hadapan nasi gudangan, sama-sama lahap.
Dulu saat masih duduk di sekolah dasar, hampir tiap hari aku makan nasi gudangan. Aku sekolah di SD Negeri 3 Krangganharjo. Dulu di sekolah tidak ada kantin. Tapi ada warung kecil di depan sekolah. Di warung itulah aku dan teman-teman jajan saat jam istirahat. Nah jajanku tiap hari ya nasi gudangan. Bukan karena suka, lebih ke tidak ada pilihan lain. Untuk menikmati 1 porsi nasi gudangan saat itu, aku harus merogoh uang 35 rupiah. Saat membayar aku menyerahkan 1 koin 20 rupiah, 1 koin 10 rupiah dan 1 koin 5 rupiah. Sejak saat SD itu aku mulai jatuh cinta dengannya, nasi gudangan.
Saat itu nasi gudangan disajikan dalam pincuk daun pisang. Nasi putih panas, dikasih urap sayuran dan ditambah sambal kelapa di atasnya. Aromanyaa huuhh jangan ditanya. Pokok e maknyuss, begitu istilah nya Bondan Winarno (alm). Apalagi kami menyantapnya rame-rame, bareng dengan teman-teman sambil bercanda. Pada momen itu, hiburan kami saat jajan adalah gangguin teman cewek yang juga lagi jajan. Biasa, usil ala anak-anak kampung. Pas teman cewek sedang makan, begitu nasi sudah hampir masuk mulutnya, kami tarik rambutnya. Bayangan akan kelezatan nasi gudangan langsung punah, kepala tak jua bisa mendekat. Begitu kepala mendekat, rambut ditarik lagi. Duh kasihan, tapi ya begitulah namanya cowok. Gak bisa lihat peluang dikit, langsung berangkat.
Tapi anak cewek selalu punya cara menakuti kaum cowok, biar gak ganggu lagi. "Awas nanti sampai kelas kulaporin bu guru", ancaman ini jadi senjata ampuh buat menghentikan ulah nakal para cowok. Maklum, saat itu para siswa masih sangat hormat dengan guru-gurunya. Guru adalah jaminan obat kenakalan saat itu. Dan itu semua kami lakukan sambil menikmati nasi gudangan. Sederhana tapi penuh tawa dan kehangatan.
Begitulah rutinitas jajan jaman SD dulu. Makan gak pakai sendok, hanya pakai tangan. Tapi nikmatnya gak kalah dengan makan jaman sekarang. Rutinitas jajan bareng jadi hiburan, meskipun hanya sekedar nasi gudangan, tidak ada gadget yang mengganggu. Pada akhirnya, semua hanyalah kenangan.
Itu dulu. Sejak lulus SD, aku sudah jarang makan nasi gudangan. Paling hanya sesekali, saat ada undangan makan ke tetangga. Biasanya saat memperingati pasaran hari lahir. Seingatku, perpisahanku dengan nasi gudangan terjadi saat aku harus merantau ke Bogor untuk melanjutkan kuliah. Di bogor, aku benar-benar putus dengannya. Lama sekali aku tidak menyantapnya. Apalagi setelah pindah ke Sumatra. Setelahnya nasi gudangan sudah tidak jadi pilihan. Kalau ada pilihan menu yang lain, selalu saja nasi gudangan aku tinggalkan. Aku lebih milih menu lainnya yang lebih kekinian dan kedaging-dagingan.
Sejarah Nasi Gudangan