Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan untuk menunjang proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) pada masa pandemi Covid-19. Kebijakan ini berupa subsidi kuota internet untuk siswa, guru, mahasiswa, dan dosen. Kebijakan tersebut  diberikan empat kali dari September sampai Desember 2020. Besarannya adalah Kuota 35 GB per bulan bagi siswa, 42 GB bagi guru, dan 50 GB bagi dosen serta mahasiswa. Untuk merealisasikan program tersebut, Kemendikbud  memberikan bantuan Rp7.2 triliun untuk subsidi kuota internet selama empat bulan tersebut.
Upaya yang dilakukan Kemendikbud untuk memberikan bantuan pengadaan pulsa ini menurut Mendikbud, Nadiem Makarim berdasarkan masukan masyarakat yang mayoritas terkendala pulsa kuota internet dalam mengakses pembelajaran jarak jauh (PJJ). Nadiem Makarim, berharap kebijakan ini bisa menjadi jawaban atas kecemasan masyarakat di tengah kesulitan ekonomi akibat terdampak pandemi.
Terhadap kebijakan tersebut ada yang menanggapi positif ada juga yang memberikan kritik. Kalangan pendidik tentu menyambut gembira atas program tersebut. Demikan halnya salah satu anggota DPR memberikan apresiasinya. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Agustina Wilujeng Pramestuti berpendapat bahwa bantuan ini dapat meringankan beban baik untuk pengajar maupun siswa selama masa pembelajaran online. Ia menambahkan, kebijakan ini disambut baik oleh Komisi X DPR RI dan diyakini akan berdampak positif bagi siswa.
Keadilan Sosial, Kepentingan Bisnis dan IoT
Tanggapan kritis juga muncul dari berbagai pengamat. Mereka memandang program pemberian kuota pada saat PJJ dikaitkan dengan pemenuhan delapan standar pendidikan perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Karena tidak semua masalah PJJ bisa diselesaikan dengan kebijakan subsidi kuota. Ditilik dari delapan standar nasional pendidikan, subsidi kuota internet hanya dapat menunjang standar proses semata.
Dengan demikian Kemendikbud perlu lebih memperhatikan persoalan pemenuhan standar nasional pendidikan di berbagai daerah agar tak terjadi disparitas layanan pendidikan.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Lubis mengatakan, subsidi kuota internet bagi siswa, mahasiswa, guru, dan dosen tanpa mengukur kemampuan ekonomi penerima, menunjukkan sebuah kebijakan yang tidak mempertimbangkan keadilan sosial.
Menurut Rissalwan, kebijakan pukul rata ini seolah-olah juga menunjukkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) seperti hanya mau ambil mudahnya saja, tanpa bersusah payah memilah kebutuhan kuota internet bagi siswa yang membutuhkan.
Sedangkan pengamat pendidikan, Indra Charismiadji menilai, salah satu bahaya dari kebijakan itu adalah data siswa yang mungkin saja dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk kepentingan bisnis baik politik dan ekonomi. Dengan sudut pandang ini perlu menjadi kewaspadaan agar tidak sekededar perluasan pelanggan baru oleh provaider telekomunikasi.
Selain dua hal tersebut di atas ada satu hal yang akan mengalami perubahan mendasar dalam praktek pendidikan yaitu berubahnya ekosistem pendidikan menjadi ekosistem konsumen kuota. Ada hubungan yang makin intens antara daya juang belajar dengan keterbatasan kuota. Hal ini akan cukup mengkhawatirkan apabila pembelajaran menjadi tidak berlangsung oleh sebab tidak adanya kuota.
Lebih jauh terkait dengan penggunaan kuota juga munculnya perilaku pengguna dari sekedar daring menjadi internet of things (IoT). Dalam kecenderungan ini seolah belajar hanya soal memberi tugas melalui internet, melakukan kegiatan telekonferen dan menggunakan aplikasi LMS.