Mohon tunggu...
Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis

Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Disrupsi Politik Demokrasi Indonesia

25 Desember 2020   05:29 Diperbarui: 25 Desember 2020   05:37 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soekarno jatuh akibat dari arogansi komunisme. Suharto mengambil alih peran. Lagi-lagi demokrasi palsu (pseudo-demokrasi) dipraktikkan. Mengatasnamakan Pancasila, komunisme "dihabisi." Lalu dengan tangan dinginnya, ia bangun apa yang disebut dengan "Demokrasi Pancasila" serta mendesakkan konsep asas tunggal terhadap praksis politik Republik.

Pelan tapi pasti, praktik ideologisasi Pancasila menjelma menjadi momok politik dengan tafsir tunggal rezim. Hampir semua yang berlawanan dengan rezim atas nama Pancasila "dikucilkan." Walhasil, Demokrasi Pancasila ala Suharto alih-alih melahirkan oligarki serta menyuburkan paraktik-praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Lagi, arogansi dan konfrontasi  tak terbendung.

Suharto dipaksa berhenti. Kekuatan reformasi 1998 melengserkannya dari kursi Presiden. Menjelang pergantian abad menuju milenium ketiga, politik Indonesia memasuki masa peralihan menuju era yang disebut dengan "reformasi."

Era ini ditandai dengan euforia kebebasan. Dorongan untuk "kembali" ke jalur politik demokrasi (redemokratisasi) menguat. Keran politik multipartai dibuka, dan partai politik baru pun bermunculan. Pemilihan Umum (Pemilu) dipercepat. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pun diamandemen. Masa jabatan Presiden dibatasi, dan sejak 2004 dipilih langsung oleh rakyat.

Ada harapan baru terhadap politik demokrasi Indonesia. Lima Presiden telah memimpin Republik di era reformasi, dua di antaranya dihasilkan dari pemilihan langsung. Namun masalah laten korupsi, kolusi, dan nepotisme masih tampak melingkari politik kekuasaan. Kasus-kasus korupsi terus saja melumuri wajah Republik, bak antrian panjang yang melingkar-lingkar. Hampir tak ada instansi pemerintahan dalam tubuh negara ini yang steril dari perilaku koruptif.

Korupsi (seturut maknanya secara etimologis: corrupt = rusak) mengacaukan pola-pola hubungan politis dalam sistem demokrasi. Kekuasaan dan kerakyatan tak lagi dihubungkan dengan hikmat-kebijaksanaan, melainkan oleh dominasi kapital. Di sini ideologi kapitalisme menguat dan arogansi kapitalistis bermain.

Pada saat bersamaan, kolusi dan nepotisme bekerja mengacak-acak kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kemudian disimpangkan ke jalur oligarki. Dengan sistem yang "dibuat" corrupt ini, jalan menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia makin tampak jauh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun