Arogansi ideologis mewarnai sejarah politik bangsa Indonesia sejak awal masa kemerdekaan. Islamisme, sekularisme, sosialisme dan komunisme berkembang serempak mengiringi dinamika dan dialektika sosial. Ideologi-ideologi ini dianut oleh aktivis-aktivis pergerakan dan menjadi amunisi penting dalam mewujudkan kerangka nasionalisme Indonesia.
Sejarah berkembangnya ideologi-ideologi tersebut bisa ditelusiri ke awal-awal masa pergerakan. Salah satu pelopor sekaligus guru politik dari banyak aktivis pergerakan yang bisa dikatakan menyemaikan warna-warni ideologi ialah Hadji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto (1882-1934). Tokoh utama Sarekat Islam ini dikenal sebagai orang yang pertama kali menolak tunduk pada Belanda.
Soekarno, Sekarmadji Maridjan (S.M.) Kartosoewirjo, Semaoen, Alimin, Muso, dan Tan Malaka tercatat pernah berguru padanya. Mereka adalah aktivis-aktivis pergerakan yang mewarnai dinamika dan dialektika disertai "konflik-konflik" ideologis kebangsaan.
Sepeninggal H.O.S. Tjokroaminoto, murid-muridnya tersebut meneruskan dan mengembangkan pergerakan hingga kemudian terjadi persilangan ideologis di antara mereka. Semaoen, Alimin, Muso, dan Tan Malaka serong ke kiri. Mereka mengembangkan paham komunisme. Sementara S.M. Kartosoewirjo menyisih ke kanan untuk memperjuangkan paham islamisme. Dua ideologi ini kemudian saling berhadap-hadapan, dan secara politik saling menegasikan. Dalam praktik politik, masing-masing dari keduanya mempertontonkan arogansi ideologis.
Masalah Ideologisasi Pancasila
Soekarno "melahirkan" Pancasila, dan setelah melalui proses konseptualisasi bersama para founding fathers kemudian disahkan menjadi "dasar falsafah" (philosophische grondslag) bagi Indonesia Merdeka serta basis dari ideologi negara-bangsa. Pancasila "rumusan Soekarno," diakui atau tidak, merupakan sintesis antara "nasionalisme-islamisme, demokrasi, dan sosialisme-marxisme."
Secara teoritis, Pancasila ideal untuk menjadi bantalan tumpu bagi poros-poros ideologi yang tumbuh-beredar di tanah air. Namun dalam praksis kenegaraan-kebangsaan kerap timbul ketegangan dan bahkan tak jarang terjadi benturan (clash) bernuansa ideologis. Pada kenyataannya, ideologisasi Pancasila menuai kerentanan yang cenderung tak berkesudahan.
Pancasila sebagai dasar falsafah negara-bangsa boleh jadi ideal. Namun sebagai ideologi negara sedari awal serta dalam perjalananan hidup kebangsaan kerap timbul "sengketa." Multitafsir ideologis terhadap muatan Pancasila melahirkan persilangan aksi dan reaksi yang tak jarang saling menegasikan serta tak mudah untuk direkonsiliasikan.
Nasionalisme Pancasila versi islamis dan sekularis, misalnya, terus berada dalam persilangan. Penghapusan tujuh kata dari hasil konseptualisasi Pancasila yang melahirkan "Piagam Jakarta" ketika disahkan pada 18 Agustus 1945 masih tetap "mengganjal." Persilangan ini pula yang di antaranya membuat Sidang Majelis Konstituante (1959) "gagal" untuk menghasilkan konstitusi baru.
Preseden berikutnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menetapkan pembubaran Konstituante serta pemberlakuan lagi UUD 1945. Setelah itu politik praktis Indonesia "berada dalam kendali Soekarno." Ia lalu menerapkan apa yang disebut dengan "Demokrasi Terpimpin," mendesakkan peleburan paham nasionalisme, agama dan komunisme (NASAKOM). Sejak saat itulah politik demokrasi Indonesia mengalami disrupsi.
Demokrasi Terpimpin ala Soekarno tak lebih merupakan kamuflase konseptual dari autokrasi yang dipraktikkan. Pun Nasakomisasi Indonesia tak menciptakan persatuan, malah memperuncing pertentangan. Komunisme menyorongkan arogansi ideologisnya ke wajah Republik, "menantang" islamisme yang merasa "disisihkan." Arogansi dan konfrontasi tak terhindarkan.