Mohon tunggu...
Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis

Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Oposisi Muslim dan Oposisi terhadap Islam

22 November 2020   02:10 Diperbarui: 22 November 2020   02:42 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HAQ Creation/Koleksi Pribadi

Dinamika sosial politik kontemporer diwarnai beragam soal, di antaranya terkait masalah otoritas kebebasan (freedom authority): dibatasi (limited) atau tanpa batasan (unlimited). Jika dibatasi, apa dan sejauh mana batasannya? Jika tanpa batasan, potensi untuk terjadi benturan sosial dan anarkisme sulit dielakkan.

Permasalahan ini tampaknya menjadi soal cukup mendasar dalam dialektika kehidupan sosial politik dewasa ini, dan bukan tidak mungkin akan terus jadi public discourse di masa-masa berikutnya. Permasalahan ini pula yang tak jarang memicu ketegangan antarkekuatan sosial dalam skala global maupun lokal.

Atas nama kebebasan berekspresi, Jyllands-Posten, sebuah surat kabar harian konservatif Denmark, pada tahun 2005 menerbitkan 12 gambar (karikatural) dengan tajuk "Wajah Muhammad." Tentu saja, penerbitan semacam ini memicu amarah akibat ketersinggungan banyak umat Muslim. Protes pun bermunculan.

Tahun berikutnya, 2006, gambar yang diterbitkan Jyllands-Posten itu dicetak ulang oleh majalah satire Charlie Hebdo, berbasis di Paris. Protes keras umat Muslim di berbagai belahan dunia seperti diabaikan, dengan dalih "kebebasan."

Tak berhenti di situ. Februari 2008, belasan surat kabar Denmark memuat ulang gambar yang nyata-nyata telah memicu gelombang protes umat Muslim di berbagai tempat---bahkan karenanya timbul kekerasan yang mengakibatkan puluhan orang tewas---dalam publikasi mereka. Berbagai penggambaran yang merendahkan martabat Nabi umat Muslim seakan terus dipropagandakan atas nama kebebasan. Berulang, dan terus berulang.

Emmanuel Macron menambah panas situasi. Presiden Prancis ini menyatakan bahwa negaranya tidak akan berhenti menerbitkan atau membicarakan kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad. Pernyataan ini keluar sebagai respons atas terjadinya reaksi pembunuhan terhadap Samuel Paty (16 Oktober 2020), seorang guru sejarah yang sebelum kejadian menunjukkan kartun kepada para muridnya dalam sesi pelajaran kebebasan berekspresi.

Rentetan peristiwa mengait penggambaran (karikatural) Nabi Muhammad ini dinilai banyak pihak sangat mendiskreditkan Islam. Karenanya, tak sedikit umat Muslim meradang, dan sebagian berupaya melawan.

Oposisi terhadap Islam

Peristiwa gambar (karikatural) Nabi Muhammad hanyalah salah satu dari sekian peristiwa serupa yang bisa dipandang sebagai "serangan oposisional" terhadap Islam.

Peristiwa lain dengan konteks yang beririsan ada film "Fitna," dibuat oleh Geert Wilders, seorang politikus sayap ultra kanan Belanda, disiarkan melalui media online (28 Maret 2008). Film ini memuat ayat-ayat Al-Quran yang sengaja dipenggal-penggal dan menyimpang dari konteksnya disertai gambar-gambar menistakan yang tidak ada relevansinya.

Kasus di tanah air, meskipun dengan konteks berbeda, mengait Al-Quran surah al-Maidah: 51, yang dipandang oleh (sebagian) umat Muslim sebagai penistaan "oposisional" terhadap Islam. Kasus ini melibatkan Gubernur DKI Jakarta, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sehubungan dengan pidato kontroversial pada September 2016 yang menyebar di media sosial, dan memicu gelombang protes di kalangan umat Muslim hingga "berjilid-jilid." Ahok pun dihukum.

Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw berkedudukan amat penting dan mulia dalam keyakinan umat Muslim. Melecehkan dan/atau mendiskreditkan Kitab wahyu dan/atau utusan Tuhan ini sama dengan merendahkan Islam. Tindakan semacam ini akan dinilai sebagai oposisi terhadap Islam; dan berarti menantang umat Muslim. Orang-orang yang terlibat di dalamnya akan distempel anti-Islam.

Bagi umat Muslim, Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw adalah satu paket, yang merupakan sumber ajaran autentik, sakral, dan absolut. Apapun madzhab dan aliran pemahaman yang dianut dalam berislam, Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw adalah sumber utamanya. Setiap Muslim mengikatkan keyakinan padanya.

Islam sebagai agama mengikat pemeluknya dengan aturan-aturan yang disebut syariat; ada yang berkedudukan inti/pokok (fundamental) dan ada yang sifatnya pelengkap (komplementer). Tentang syariat inti, Islam dan Muslim adalah satu; tak terpisahkan, referensi utamanya ialah Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw. Karena itu, sangat sulit---bisa dikatakan tidak mungkin---memisahkan Islam dari kehidupan Muslim.

Hal ini pula yang menjadi soal cukup mendasar dan terus menjadi polemik dalam dialektika kehidupan sosial politik bangsa Indonesia. Semenjak negara ini berdiri kontroversi mengenai hubungan Islam dan negara seperti tak pernah berujung. Ada semacam kesepakatan yang senyatanya tak pernah benar-benar disepakati dalam mekanisme sistem kenegaraan kita.

Tarik-menarik antara kekuatan politik islami dengan kekuatan politik non-islami (sekular) seakan terus menghantui perjalanan kehidupan sosial politik bangsa dan negara. Ketika kekuatan politik islami dominan, politik sekular "meriang," lalu bemunculan gerakan oposisi terhadap Islam. Begitu pun sebaliknya, ketika kekuasaan dikendalikan oleh politisi sekularis, tak sedikit umat Muslim "gerah" untuk kemudian beroposisi.

Oposisi Muslim

Islam hadir ke pentas sosial sebagai agama formal terakhir dari rumpun agama-agama wahyu, dan "mengklaim sebagai pemungkas" serta bersifat universal. Agama ini tidak menafikan ajaran-ajaran agama wahyu sebelumnya, melainkan menyempurnakan.

Tamim Ansary, sejarawan yang dibesarkan di Afganistan kemudian menetap di Amerika Serikat, menulis dalam bukunya, The Invention of Yesterday (2019): "Sejak awal, Muslim menganut agama yang politis. Islam adalah umat; Islam adalah pemerintahan umat; Islam adalah hukum umat."

Jika kita melihat konteks sosiologis kemunculan Islam (pada awal abad ke-7 M), selain menentang praktik-praktik penyimpangan teologis, secara bersamaan agama ini hadir mengeritik praktik-praktik ketidakadilan sosial yang terjadi di kalangan masyarakat Makkah dan sekitarnya kala itu. Maka para pengikut Islam awal lebih banyak terdiri dari golongan kelas bawah. Mereka tampil beroposisi.

Karena gerakan oposisi Muslim di Makkah tak kondusif, Nabi Muhammad Saw mengarahkan pengikutnya hijrah ke Madinah (Yatsrib). Di tanah baru nan subur inilah, Islam kemudian bangun menjadi orkestra keumatan. Selanjutnya, kaum Muslim tampil sebagai kekuatan politis yang beroposisi terhadap dunia global.

Kekuatan politis umat Muslim berhasil mencapai posisi puncak pada masa yang dikenal dengan abad pertengahan (dalam rentang antara sekitar tahun 800-an hingga 1300-an M). Setelah itu kekuatan politis kaum Muslim perlahan terpecah belah, dan kekuatan oposisi terhadap Islam menguat. Namun demikian, Islam sebagai kekuatan agama telah menjadi sesuatu yang tunggal.

Konteks Indonesia

Sedangkan untuk konteks Indonesia, Islam pada awalnya memasuki Nusantara bukan sebagai kekuatan politis, melainkan melalui proses akulturasi. Penyebar Islam di tanah air pada mulanya adalah kaum pedagang yang kemudian berbaur dengan penduduk setempat, dan menghasilkan kaum Muslim yang membumi.

Pembumian Islam di tanah air terjadi tidak dalam waktu singkat; berlangsung nyaris tanpa riak. Jika Islam telah masuk ke negeri ini pada abad ke-7 M, artinya proses pembumian Islam di sini telah berlangsung sejak masa-masa awal agama ini berkembang. Sedangkan jika masuk pada abad ke-13 M berarti bersamaan dengan masa-masa memudarnya kekuatan Islam politik di pentas dunia global.

Boleh jadi keduanya benar; dalam pengertian bahwa pada abad ke-7 M telah ada Muslim yang masuk, dan pada abad ke-13 M, populasi Muslim di negeri ini sudah menunjukkan eksistensinya sebagai kekuatan sosial politik. Dengan ini bisa dipahami jika pada 2/3 abad kemudian kaum Muslim berada di garda depan dalam beroposisi terhadap kolonialisme yang merambah tanah Nusantara.

Riak oposisional kaum Muslim di tanah air tak berhenti meskipun kolonialisme telah henkang, dan Indonesia berhasil menjadi sebuah negara-bangsa (nation-state). Pasalnya, sampai era negara bangsa, Islam dan kaum Muslim seperti "tak mendapat tempat layak" dalam kedudukannya sebagai kekuatan sosial politik di negeri ini.

Preseden "marjinalisasi Islam" dalam konteks kepemimpinan negara-bangsa ini terus terjadi hampir pada setiap pergantian kepemimpinan negara. Kebijakan-kebijakan politis negara sering kali beroposisi terhadap Islam.

Boleh jadi karena inilah mengapa gerakan oposisi Muslim tak pernah benar-benar mati. Ditambah lagi kebijakan-kebijakan politis dunia global sering kali menjadikan Islam sebagai sasaran tembak atas terjadinya banyak kekacauan di berbagai belahan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun