Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw berkedudukan amat penting dan mulia dalam keyakinan umat Muslim. Melecehkan dan/atau mendiskreditkan Kitab wahyu dan/atau utusan Tuhan ini sama dengan merendahkan Islam. Tindakan semacam ini akan dinilai sebagai oposisi terhadap Islam; dan berarti menantang umat Muslim. Orang-orang yang terlibat di dalamnya akan distempel anti-Islam.
Bagi umat Muslim, Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw adalah satu paket, yang merupakan sumber ajaran autentik, sakral, dan absolut. Apapun madzhab dan aliran pemahaman yang dianut dalam berislam, Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw adalah sumber utamanya. Setiap Muslim mengikatkan keyakinan padanya.
Islam sebagai agama mengikat pemeluknya dengan aturan-aturan yang disebut syariat; ada yang berkedudukan inti/pokok (fundamental) dan ada yang sifatnya pelengkap (komplementer). Tentang syariat inti, Islam dan Muslim adalah satu; tak terpisahkan, referensi utamanya ialah Al-Quran dan Nabi Muhammad Saw. Karena itu, sangat sulit---bisa dikatakan tidak mungkin---memisahkan Islam dari kehidupan Muslim.
Hal ini pula yang menjadi soal cukup mendasar dan terus menjadi polemik dalam dialektika kehidupan sosial politik bangsa Indonesia. Semenjak negara ini berdiri kontroversi mengenai hubungan Islam dan negara seperti tak pernah berujung. Ada semacam kesepakatan yang senyatanya tak pernah benar-benar disepakati dalam mekanisme sistem kenegaraan kita.
Tarik-menarik antara kekuatan politik islami dengan kekuatan politik non-islami (sekular) seakan terus menghantui perjalanan kehidupan sosial politik bangsa dan negara. Ketika kekuatan politik islami dominan, politik sekular "meriang," lalu bemunculan gerakan oposisi terhadap Islam. Begitu pun sebaliknya, ketika kekuasaan dikendalikan oleh politisi sekularis, tak sedikit umat Muslim "gerah" untuk kemudian beroposisi.
Islam hadir ke pentas sosial sebagai agama formal terakhir dari rumpun agama-agama wahyu, dan "mengklaim sebagai pemungkas" serta bersifat universal. Agama ini tidak menafikan ajaran-ajaran agama wahyu sebelumnya, melainkan menyempurnakan.
Tamim Ansary, sejarawan yang dibesarkan di Afganistan kemudian menetap di Amerika Serikat, menulis dalam bukunya, The Invention of Yesterday (2019): "Sejak awal, Muslim menganut agama yang politis. Islam adalah umat; Islam adalah pemerintahan umat; Islam adalah hukum umat."
Jika kita melihat konteks sosiologis kemunculan Islam (pada awal abad ke-7 M), selain menentang praktik-praktik penyimpangan teologis, secara bersamaan agama ini hadir mengeritik praktik-praktik ketidakadilan sosial yang terjadi di kalangan masyarakat Makkah dan sekitarnya kala itu. Maka para pengikut Islam awal lebih banyak terdiri dari golongan kelas bawah. Mereka tampil beroposisi.
Karena gerakan oposisi Muslim di Makkah tak kondusif, Nabi Muhammad Saw mengarahkan pengikutnya hijrah ke Madinah (Yatsrib). Di tanah baru nan subur inilah, Islam kemudian bangun menjadi orkestra keumatan. Selanjutnya, kaum Muslim tampil sebagai kekuatan politis yang beroposisi terhadap dunia global.
Kekuatan politis umat Muslim berhasil mencapai posisi puncak pada masa yang dikenal dengan abad pertengahan (dalam rentang antara sekitar tahun 800-an hingga 1300-an M). Setelah itu kekuatan politis kaum Muslim perlahan terpecah belah, dan kekuatan oposisi terhadap Islam menguat. Namun demikian, Islam sebagai kekuatan agama telah menjadi sesuatu yang tunggal.