Mengawali Sidang Pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia pada 29 Mei 1945, Radjiman Widyodiningrat---yang ditunjuk menjadi Ketua---menyampaikan pidato ringkas. Dalam pidatonya, dikemukakan sebuah pertanyaan mendasar kepada anggota sidang, "Negara yang akan kita bentuk itu apa dasarnya?"
Menurut Mohammad Hatta, salah seorang anggota yang ikut dalam sidang itu, sebagian besar anggota tidak langsung memberi jawaban karena khawatir akan membawa pertikaian yang berkepanjangan. Baru pada hari keempat, tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato "jawaban" yang berpokok pada lima dasar (lihat Mohammad Hatta, Menuju Gerbang Kemerdekaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011).
Soekarno dalam pidatonya itu mengemukakan lima asas sebagai dasar negara: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan. Ia lalu menamai lima asas ini dengan sebutan "Pancasila."
Penting untuk dicatat bahwa apa yang dikemukakan oleh Soekarno ini baru merupakan konsep awal yang diusulkan untuk dijadikan sebagai dasar falsafah (Philosofische Gronslag); fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa-hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan negara Indonesia Merdeka.
Kemudian pada tanggal 22 Juni 1945, setelah melalui berbagai perdebatan alot mengenai dasar, bentuk, dan aturan-aturan (hukum dasar) dalam bernegara, dicapai suatu kesepakatan bahwa negara yang akan dibentuk ialah berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan dasar negara tersebut dicantumkan pada bagian akhir alinea keempat (rencana) Mukadimah UUD 1945, dan dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta.
Syahdan, ketika UUD hasil kesepekatan bersama itu ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, tujuh kata yang menyertai asas Ketuhanan dihapus dan diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan pengubahan ini, diubah pula ketentuan mengenai Agama pada Pasal 29 ayat 1 menjadi: "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa."
Pengubahan lainnya dilakukan pada kata "Mukadimah" yang diganti menjadi Pembukaan serta ketentuan menyangkut Presiden pada Pasal 6 ayat 1, yang semula menetapkan bahwa "Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam," kata-kata "...dan beragama Islam" dicoret dari kalimat tersebut.
Upaya untuk merubah atau menyempurnakan UUD yang dibuat "mendadak" itu sudah pernah dilakukan pada 1950-an. Akan tetapi---setelah sempat disela oleh pemberlakuan Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) 1949 dan UUDS 1950---Majelis Konstituante hasil Pemilu 1955 gagal menyepakati UUD baru. Lalu Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959, yang menetapkan pembubaran Konstituante serta pemberlakuan lagi UUD 1945.
UUD yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 itu bertahan (baca: dipertahankan) dan resmi berlaku hingga hari ini, dengan perubahan-perubahan (amandemen) pada beberapa pasal krusial seiring perkembangan politik pascareformasi.
Deislamisasi