Mohon tunggu...
Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis

Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pancasila antara Idealitas dan Realitas

15 Juni 2020   16:55 Diperbarui: 15 Juni 2020   17:00 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu slogan tak asing dari khazanah kebangsaan Indonesia ialah kalimat: "Pancasila alat pemersatu bangsa." Jika dilihat sepintas lalu, ungkapan ini boleh jadi tak bermasalah. Namun jika direnungkan lebih mendalam akan didapati di sana semacam contradictio in terminis atau kontradiksi dalam peristilahan, yakni manakala dikaitkan dengan kedudukan Pancasila sebagai asas-falsafah bangsa.

Ungkapan seperti tersebut (berpotensi) mereduksi dan mendegradasi fungsi Pancasila dari kedudukan asalnya sebagai asas-falsafah bangsa menjadi "alat politik" yang sewaktu-waktu bisa digunakan "hanya" pada saat diperlukan, lalu di saat lain "dikotakkan." Boleh jadi karena itulah, nilai-nilai yang dikandungnya tak kunjung merasuk ke dalam jiwa bangsa Indonesia.

Pancasila dinyatakan resmi sebagai dasar negara seiring pengesahan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945. Nilai-nilainya tercantum dalam Pembukaan pada alinea ke-4, mencakup asas-asas Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan, dan Keadilan Sosial.

Sejatinya, kelima asas tersebut merupakan basis dari ideologi negara sekaligus falsafah dalam hidup berbangsa. Akan tetapi jika kita cermati praktik-praktik politik sejak asas-asas ini disepakati bersama sebagai fondasi utama kehidupan berbangsa dan bernegara hingga hari ini tampaknya masih jauh panggang dari api; kegamangan kerap menggelayuti peri kehidupan bangsa Indonesia.

Sudah 75 tahun---dihitung dari pertama kali dipidatokan oleh Soekarno dalam masa persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945, yang memunculkan istilah Pancasila---lima sila ini bertahan (baca: dipertahankan) sebagai asas negara dan "seakan-akan" tetap (membeku) sebagai dasar cita-cita yang terus-menerus diimpikan, dislogankan, kerap juga dipropagandakan, dan tak kunjung mencair dalam kehidupan nyata.

Bahkan jika ditarik lebih jauh ke belakang---dengan mengikuti rumusan versi Yudi Latif tentang konseptualisasi Pancasila dalam bukunya, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011)---apa yang kita sebut sebagai falsafah bangsa ini sudah mencapai usia 100 tahun alias satu abad.

Yudi Latif mencatat konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian panjang dari fase "pembuahan," fase "perumusan," dan fase "pengesahan. Fase "pembuahan" setidaknya dimulai pada 1920-an.

Tentu kita tidak meragukan aspek-aspek historisitas maupun rasionalitas dari lima "mantra" sila yang ditahbiskan sebagai dasar negara ini. Tetapi harus diakui bahwa dalam proses aktualisasinya masih jauh dari harapan; sempoyongan, terseok-seok, mengalami jatuh bangun, dan kadang juga babak belur.

Kita pun tak patut menafikan pencapaian-pencapaian dari upaya-upaya serius yang telah dilakukan berbagai elemen negara dan bangsa ini di era-era sirkulasi politik dalam kurun tiga perempat abad sejak Pancasila dilahirkan. Namun tak boleh juga kita menutup mata terhadap berbagai kekurangan dan kecurangan serta pelemahan dan penyimpangan dari praktik-praktik bernegara di atas asas Pancasila.

Alat Politik

Jika kita review sejarah perjalanan kebangsaan Indonesia dari waktu ke waktu dan kaitannya dengan aktualisasi Pancasila, tak sulit untuk mendapati anomali-anomali dalam praktik bernegara dan berbangsa.

Di awal-awal masa mempertahankan kemerdekaan---setelah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dan keesokan harinya Pancasila dinyatakan resmi sebagai dasar negara---lima "mantra" ini masih cukup ampuh mempersatukan gerakan (elite-elite) bangsa. Perbedaan-perbedaan di kalangan para pemimpin bangsa kala itu mengendap demi eksistensi Republik Indonesia (RI).

Namun rupanya hal itu berlangsung hanya sementara, karena kita masih dalam masa revolusi fisik, menghadapi musuh bersama: Belanda yang melancarkan agresi untuk kembali menguasai negeri ini, dan sempat memecah-belah bangsa sehingga untuk beberapa waktu sebagian wilayah RI dikotak-kotakkan menjadi negara-negara serikat.

Walhasil, dengan kekuatan persatuan, melalui gerakan Mosi Integral Natsir, kita mampu mengatasinya. Negeri penjajah itu pun akhirnya mengakui secara resmi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mulai tahun 1950-an, ideologi Pancasila dihadapkan pada tantangan-tantangan. Masing-masing sila dari ideologi-falsafah bangsa ini kerap digunakan sebagai alat politik untuk "saling menikam" antarkelompok aliran kebangsaan. Konflik-konflik kepentingan beraroma ideologis-politis terus menghantui peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Sirkulasi kepemimpinan nasional cenderung tak berkelanjutan dengan kebijakan-kebijakan yang inkonsisten.

Setelah berhasil kembali menjadi NKRI---sebelumnya sempat menjadi negara federasi yang beranggotakan enam belas negara bagian dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS)---kegamangan mewarnai langkah Republik. Konstitusi RIS 1949 masih diadopsi dengan "amandemen resmi" menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (diberlakukan mulai 15 Agustus 1950) untuk menjalankan roda pemerintahan.

Sebagai catatan: rumusan Pancasila versi Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 ialah: (1) Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, (2) Peri kemanusiaan, (3) Kebangsaan, (4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan Sosial. Rumusan versi ini tampak lebih sederhana, namun dalam proses aktualisasinya menimbulkan konsekuensi tak sederhana.

Dengan UUDS 1950, sistem parlementer diterapkan untuk menjalankan roda pemerintahan. Alhasil, Republik mengalami semacam turbulensi politik. Konflik-konflik kepentingan antarkekuatan berlatar ideologi tak terkelola dengan baik. Kabinet-Kabinet yang mengelola penerintahan tak ada yang berumur panjang. Pemilu 1955 pun "tak berhasil" meredakan situasi. Majelis Konstituante hasil Pemilu 1955 gagal menyepakati UUD baru.

Mengomentari situasi tersebut, M.C. Ricklefs berpendapat bahwa "sebagian sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah tentang kegagalan rentetan pimpinan untuk memenuhi harapan-harapan tinggi yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan" (Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005, hal. 471).

Situasi kemudian beralih dengan keluarnya Dekrit Presiden Soekarno, tanggal 5 Juli 1959. Dekrit ini menetapkan pembubaran Konstituante, UUD 1945 berlaku lagi, dan UUDS 1950 ditetapkan tidak berlaku.

Meski demikian tak membuat Republik tenang. Krisis demi krisis terus berulang. Presiden Soekarno menerapkan apa yang disebut Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Demokrasi ala Soekarno ini menuai kontroversi, yang berujung timbulnya krisis ideologis. Aliran komunisme menguat, dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh pemerintahan.

Krisis 1965 mengakhiri era Soekarno lalu melahirkan era Soeharto. Merupakan sebuah ironi, kepemimpinan tokoh Proklamasi dan pencetus istilah Pancasila ini berakhir tak menyenangkan---untuk tidak menyebutnya "tragis." Ia seakan "ditikam" oleh apa yang dicetuskannya; peristiwa kejatuhannya itu ditahbiskan sebagai tahun Kesaktian Pancasila.

Kemudian Presiden Soeharto memegang kekuasaan atas Republik selama tiga puluh tahun lebih. Kepemimpinannya pun berakhir tak elok. Ia dipaksa berhenti oleh kekuatan reformasi 1998. Kebijakan-kebijakannya selama memimpin dinilai korup, represif, antikemanusiaan, dan jauh dari nilai-nilai keadilan. Penerapan asas tunggal Pancasila pada masa kepemimpinannya dituding tak lebih sebagai alat politik demi melanggengkan kekuasaan.

Setelah Soeharto "terpaksa" berhenti sebagai Presiden, Indonesia memasuki era baru. Sirkulasi politik kepemimpinan nasional tampak mulai berjalan lancar. Sudah ada lima presiden yang memimpin negeri ini dalam kurun dua dasawarsa terakhir.

Lalu kini muncul Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Apakah RUU ini akan mulus menjadi UU, mengingat sedari awal kemunculannya muncul pula kontroversi tentangnya? Sampai kapan Pancasila dijadikan "hanya" sebagai alat politik untuk "saling menikam" antarsesama elemen bangsa? Mari becermin...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun