Tangguh dan pantang bosan. Dua kata yang rasanya pas buat menggambarkan sosok Siti Mariam alias Bude Siti, perempuan 53 tahun yang sejak 2013 sudah berdagang di lokasi Kali Mesin, yang kini dikenal sebagai Danau Kemuning, Desa Sribhawono, Kecamatan Bandar Sribhawono, Lampung Timur.
Sabtu, 4 Januari 2025, saya bersama istri, anak, dan seorang kawan yang juga mengajak istri serta dua anaknya, sengaja meluangkan waktu santai di Danau Kemuning. Cuaca mendung, angin sesekali bertiup lembut, menambah syahdu suasana. Kami duduk di gazebo berukuran 2x2 meter, menyeruput kopi sachet yang kami pesan dari "Warung Nenek", begitu orang-orang menyebutnya milik Bude Siti.
Obrolan ngalor-ngidul mengalir begitu saja, sampai akhirnya gerimis berubah menjadi hujan. Terpaksa kami berteduh di warung Bude Siti sambil membeli beberapa jajanan. Saya dan teman saya pun memesan dua gelas kopi lagi, untuk melanjutkan obrolan kami, sementara ibu-ibu dan anak-anak sibuk menikmati Pop Mie dan minuman coklat yang dijual di sana.
Sambil ngobrol bersama teman, mata saya beberapa kali tertuju pada sosok Bude Siti yang saat itu duduk santai di kursi plastiknya. Wajahnya tenang, tatapannya seperti menyimpan banyak cerita. Ada sesuatu dari raut wajahnya yang bikin saya penasaran.
“Bude udah lama dagang di sini?” tanyaku akhirnya, mencoba membuka percakapan.
Awalnya, saya ragu apakah pertanyaan ini mengganggunya. Tatapannya tadi begitu tenang, seolah tak ingin diganggu. Tapi dugaan saya salah.
"Sudah dari 13 tahun om, saat lokasi ini masih sepi," jawabnya santai, dalam bahasa Jawa yang saya terjemahkan ke bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti.
Dan dari situlah, cerita panjang tentang perjalanan hidupnya pun mengalir.
Saya makin penasaran. Bertahan 13 tahun di tempat wisata yang pasang surut pengunjungnya tentu bukan perkara mudah.
"Sejak tahun 2013, saat ini masih bertahan, apa ada peningkatan penghasilan?" tanyaku, mengingat hari itu pun pengunjung bisa dihitung dengan jari.
Bude Siti mengedipkan matanya perlahan, seolah mengingat kembali perjalanan panjangnya. "Berkat dagang di lokasi ini, saya bisa membiayai anak sekolah sejak kelas 6 SD sampai lulus kuliah om," ucapnya, membuat saya terkejut.
Dia kemudian bercerita, dulu saat anaknya masih kecil, ia selalu membantu menyiapkan dagangan untuk dibawa ke sini.
"Saat dulu anak saya masih kecil kelas 6 SD, bantu saya menyiapkan dagangan untuk dibawa ke sini. Saat berangkat dia antar dagangan pakai motor, saya jalan dari rumah ke sini," ungkapnya.
Membayangkan perjuangannya saat itu, saya jadi merasa diri saya tak ada apa-apanya. Perjuangan saya di umur 33 tahun ini rasanya belum ada setengah dari yang Bude Siti jalani.
Kini, Danau Kemuning tak seramai dulu. Beberapa pedagang lain masih ada, tapi mereka biasanya hanya muncul saat hari-hari besar yang berpotensi mendatangkan banyak pengunjung.
Namun, beda cerita dengan Bude Siti. Ia tetap berjualan, entah ramai atau sepi.
Warungnya beratapkan asbes tanpa dinding papan untuk menyimpan barang, artinya setiap hari ia harus membawa pulang-berangkah semua dagangannya.
Saya pun bertanya, apa yang membuatnya tetap bertahan meski pengunjung tak menentu?
"Kalau nggak dagang, saya nggak mau tempat ini sepi apalagi pedagang terlihat nggak ada," katanya mantap.
Saat seharian tak ada pengunjung, ia memilih bersantai sembari menyapu halaman warungnya.
"Nggak ada pengunjung hari ini, siapa tau besok ada," ucapnya dengan penuh keyakinan.
Saya pun bertanya soal penghasilannya. Dengan percaya diri, Bude Siti menjawab bahwa bisnis kecil yang ia lakoni hingga kini setidaknya memberinya kesibukan.
"Ya mau ngapain, anak-anak sudah pada mandiri. Daripada nggak ada kerjaan," katanya santai.
Dari perbincangan ini, saya belajar satu hal, konsistensi dan keikhlasan itu kunci dalam menjalani sesuatu. Jika mencintai pekerjaan, jalani dengan hati.
Bicara soal penghasilan, Bude Siti mengaku kalau di hari biasa ia hanya bisa mengantongi sekitar Rp50 ribu per hari, bahkan kadang kurang. Namun, saat musim liburan atau hari besar, ia bisa mendapatkan Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per hari.
Angka yang mungkin tak besar bagi sebagian orang, tapi bagi Bude Siti, ini lebih dari cukup. Baginya, berdagang bukan sekedar mencari uang, tapi juga menjaga agar Danau Kemuning tetap hidup.
Saya menyesap kopi yang tinggal separuh. Hujan mulai reda, dan sebenarnya saya masih ingin berbincang lebih lama dengan Bude Siti Mariam. Namun, anak saya mulai merengek minta pulang, memaksa saya mengakhiri obrolan yang rasanya belum tuntas. Terpaksa, perbincangan kami harus berhenti di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H