Bude Siti mengedipkan matanya perlahan, seolah mengingat kembali perjalanan panjangnya. "Berkat dagang di lokasi ini, saya bisa membiayai anak sekolah sejak kelas 6 SD sampai lulus kuliah om," ucapnya, membuat saya terkejut.
Dia kemudian bercerita, dulu saat anaknya masih kecil, ia selalu membantu menyiapkan dagangan untuk dibawa ke sini.
"Saat dulu anak saya masih kecil kelas 6 SD, bantu saya menyiapkan dagangan untuk dibawa ke sini. Saat berangkat dia antar dagangan pakai motor, saya jalan dari rumah ke sini," ungkapnya.
Membayangkan perjuangannya saat itu, saya jadi merasa diri saya tak ada apa-apanya. Perjuangan saya di umur 33 tahun ini rasanya belum ada setengah dari yang Bude Siti jalani.
Kini, Danau Kemuning tak seramai dulu. Beberapa pedagang lain masih ada, tapi mereka biasanya hanya muncul saat hari-hari besar yang berpotensi mendatangkan banyak pengunjung.
Namun, beda cerita dengan Bude Siti. Ia tetap berjualan, entah ramai atau sepi.
Warungnya beratapkan asbes tanpa dinding papan untuk menyimpan barang, artinya setiap hari ia harus membawa pulang-berangkah semua dagangannya.
Saya pun bertanya, apa yang membuatnya tetap bertahan meski pengunjung tak menentu?
"Kalau nggak dagang, saya nggak mau tempat ini sepi apalagi pedagang terlihat nggak ada," katanya mantap.
Saat seharian tak ada pengunjung, ia memilih bersantai sembari menyapu halaman warungnya.
"Nggak ada pengunjung hari ini, siapa tau besok ada," ucapnya dengan penuh keyakinan.