"ijazahku saja belum berguna termasuk menghasilkan uang, mengapa sudah dimintai uang, akutuuu mahasiswa aktif sebelumnya kenapa serasa beli ijazah, seperti beli makanan di gerai kapitalis bayar dulu baru makan".
Alkisah begini lur~~ : Â Wisuda pada bulan November 2017, lalu Ijazah keluar pada bulan April 2018. menunggu Ijazah yang cukup lama saya sudah memiliki kesibukan lain salah satunya adalah bekerja dan beberapa kegiatan diluar kota. beberapa kali mampir kampus mau mengambil ijazah tapi ada salah satu syarat yang selalu lupa saya bawa (tanda bukti penyerahan hard cover dan sumbangan buku untuk perpustakaan sebagai syarat wisuda).Â
(Dsember 2018) karena sebuah keinginan untuk melanjutkan study lagi, maka ijazah sebelumnya adalah salah satu kebutuhan yang harus di penuhi, dan kembalilah saya ke kampus dengan maksud hati ingin mengambil ijazah dimulai dari mendapatkan tanda tangan dari Dekan, sampai di bagian keuangan (karena harus bayar legalisir dahulu)
saya : "mbak mau ambil ijazah" (menyerahkan surat rekomendasi dekan)
mbak bauk : "nama, nim?"
Baca juga: Bekerja Itu Butuh Skill Bukan Cuma Ijazah
Saya :"#@!#^$$@!$^%$@$R^$&"
Mbak bauk : "kemarin bayar wisuda belum sekalian bayar kemahasiswaan ya, sama ini sudah kena denda" (bahkan sudah lulus masih dipungut uang kemahasiswaan, logikanya mengapa tidak ketika masih menjadi mahasiswa aktif)
Saya : "denda apa ya mba?"
Mbak bauk : itu baca "dalam rangka penertiban administrasi pengambilan ijazah yang memberlakukan denda untuk mahasiswa yang mengambil ijazah melebihi batas waktu yang di tetapkan oleh Universitas.  Biaya denda tersebut guna untuk pemeliharan yang dengan jumlah biaya sebesar Rp. 750.000 bagi mahasiswa yang mengambil Ijazah lewat 6 bulan dari batas waktu yang ditentukan. Keputusan  ini berlaku surut." (kurang lebih isinya begitu)"
Saya : "loh kok udah ada pearturan begitu ngga ada sosialisasi?"
Mba bauk : "coba tanya aja ke rektorat"
akhirnya saya meningggalkan loket BAUK dengan perasaan kesal, karena lagi-lagi soal Uang untuk mendapatkan Hak saya padahal sudah memenuhi semua kewajiban. secara sadar saya mengakui kesalahan, bahwa lalai dan kampus memang bukan tempat untuk menyimpan Ijazah tapi sebagai alumni yang semasa kuliah menjadi mahasiswa aktif baik dalam akademis maupun unit  kegiatan mahasiswa lainnya saya merasa dipecundangi kampus dengan diperlakukan seperti itu.
Baca juga: 7,5 Juta Lagi, Udin Butuh Uluran Pinjaman untuk Sampai pada Ijazah S2
Pertama yang paling saya sesalkan dari kebijakan yang ditanda tangan Rektor tersebut adalah tidak adanya pemberitahuan atau sosialisasi secara masif sebelumnya. ketika saya bertemu Rektor dan memepertanyakan mengapa tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi beliau hanya mengatakan telah memberikan surat edaran kepada fakultas, padahal sebulan sebelum kebijakan tersebut berlaku saya ke fakultas dan tidak ada pemberitahuan apa-apa. juga kampus memiliki website, media social, lembaga pers, dan forum alumni tapi semua media ini tidak pernah dijadikan kampus untuk memeperluas informasi utamanya kebijakan.
Kedua sejak Ijazah dikeluarkan sedari awal tidak ada keterangan bahwa pengambilan Ijazah mempunyai batas waktu baik itu pemberitahuan secara tersurat maupun tersirat. tapi ketika kebijakan dikeluarkan bersifat surut tanpa adanya kebijaksanaan.
Ketiga dengan biaya denda yang cukup besar tidak ada penjelasan secara terperinci bentuk pemeliharaan seperti apa yang dilakukan pihak kampus terhadap Ijazah yang belum diambil, apakah Ijazah kami di simpan semisal di Bank swiss atau Ijazah kami dijaga ketat oleh Tim keamanan setingkat Paspampres, atau semakin lama disimpan di Kampus Ijazah kami gelarnya bertambah? ini tidak ada penjelasan sama sekali.
Keempat Ijazah adalah HAK saya setelah menuntaskan study yang cukup panjang. sudah banyak waktu, uang dan energi yang saya habiskan di Kampus tersebut.
Baca juga: Ijazah Digital, Memangnya Ada Ya?
sejujurnya kebijakan seperti ini saya merasakan seperti berkuliah di Penggadaian, mungkin penggadaian masih lebih fair karena menjelaskan kebijakan diawal, kampus saya? seperti bermain jebakan batman, memanfaatkan kelalaian demi keuntungan. Padahal seharusnya kampus dengan pertimbangan moral lebih khawatir apakah Ijazah yang dikeluarkan mampu menolong para alumninya untuk layak mendapatkan tempat dimasyarakat atau malah hanya menciptakan pecundang yang membebankan negara.
Kampus dalam kacamata saya seharusnya adalah tempat dimana kita belajar bijak, belajar mengeluarkan kebijakan yang adil tidak adanya penghisapan manusia atas manusia sesuai dengan amanat UUD 1945. Uang tidak akan pernah menjadi solusi untuk menertibkan, jika sebuah kebijakan yang seharusnya mengatur selalu diselesaikan dengan uang maka kekuasaan akan selalu mampu dibeli dengan uang. uang akan selalu mengalahkan kebenaran.
Pak, buk, tolong pendidikan bukan tempat mencetak uang.Â
Di luar sana ada beberapa teman yang juga mengeluhkan kebijakan tersebut tapi tidak tau cara untuk bersikap, mereka bayar saja (meski dengan susah payah mendapatkan uang) karena tidak ingin repot dan setelahnya mengutuk setengah mati kampus, enggan kembali ke kampus bahkan ogah mengakui pernah berkuliah disana. sedang saya sudah berusaha baik bertemu langsung dengan pembuat kebijakan juga mengirim surat permohonan namun tidak mendapat respon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H