Pelan-pelan awan membuka tabir cahaya pagi itu
dan perlahan matahari mulai naik melewati batas cakrawala
persis seorang bintang panggung bercahaya terang penuh pesona
sedang aku seperti seorang penonton yang menantikannya dengan hati bergetar
pagi itu dingin masih memeluk manja sepotong rangka dan daging yang berbalut kulit
ini indah, sangat indah bahkan ketika dinikmati sendiri dalam sepi
dan syukur perlahan menyusup kedalam hatiÂ
menggaung tanpa kata yang berani loncat dari bibir penuh dosa
Tuhan memang tidak pernah salah menitipkan ku di rahim perempuan negeri ini
negeri yang di berkahi, yang kalau boleh memilih
biar saja tak usah mencicipi syurgaÂ
yang dijanjikan atas ketabahan iman
biar saja hidup tanpa batasan sepotong lilin angka
yang menghantar pada ajal
biar saja terperangkap diantara orang yang bau mulut kesombongan
toh akan kubutakan penglihatanku atas keserakahan mereka
akan kutulikan pendengaranku atas ejek mereka atas kemapanan nilai
kalau aku tidak kuat, ya aku lari saja pada ketinggian
meski harus terseok, merangkak. pokoknya aku sampai disana
menangis sejadinya, mengadu lalu tertawa sekeras mungkin
karena nyatanya kesombongan mereka tidak sampai disini.
mereka tidak tahu rasanya dipeluk oleh keindahan dari tangan Tuhan
sedang mereka sudah hampir mati dalam pelukan kesombongan
yang mereka ciptakan sendiri
dan aku akan menyaksikan dari sini bersandar manis pada sisi terbaik pahatan Tuhan
dan perlahan menyatu jadi bagian keindahan yang penuh syukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H