Kedua mata Johnsy terbuka lebar. Di sedang melihat keluar jendala dan berhitung-- berhitung mundur. "Duabelas," ucapnya, dan tak lama "sebelas"; kemudian"sepuluh" dan "sembilan;" dan kemudian "delapan" dan "tujuh," hampir bersamaan.
Sue melihat keluar jendela. Apa yang dihitungnya? Hanya ada halaman kosong dan sisi samping sebuah rumah yang juga kosong yang jaraknya tujuh meter. Sebuah tanaman menjalar, yang akar-akarnya mengering, merambat keatas sampai setengah dinding. Hembusan dingin musim dingin telah menghempaskan daun-daunnya dari batang hingga dahan-dahannya, hampir gundul, tergantung di dinding bata itu.
"Apa itu, sayang?" tanya Sue.
"Enam," ucap Johnsy dengan pelan. "daun-daun itu bergururan lebih cepat sekarang. Tiga hari yang lalu masih ada sekitar seratus. Tadinya susah dihitung. Tetapi sekarang mudah. Ada lagi yang jatuh. Sekarang tinggal lima yang tersisa."
"Apanya yang lima, sayang?" tanya Sue.
"Daun-daun. Di tanaman itu. Ketika yang terakhir gugur, aku juga akan pergi. Aku sudah tahu sejak tiga hari yang lalu. Memangnya dokter tidak memberitahumu?"
"Oh, aku tidak pernah mendengar hal semacam itu," kata Sue. "Apa hubungannya tanaman merambat tua itu dengan kesembuhanmu? Dan kamu biasanya menyukai tanaman itu kan? Â Jangan konyol." tambahnya.
" Kenapa, karena dokter bilang bahwa kesempatanmu untuk sembuh sebentar lagi. -- dengar apa yang dia katakan-- dia mengatakan kesempatan kamu untuk sembuh sepuluh berbanding satu! Sekarang cobalah makan supnya. Dan, biarkan aku kembali ke pekerjaan menggambarku, sehingga bisa aku jual ke majalah dan uangnya bisa dibelikan makanan dan anggur untuk kita berdua."
"Kamu tak usah repot-repot mencari anggur lagi," kata Johnsy, matanya tetap memandang ke luar jendela. "Ada lagi yang jatuh. Tidak, aku tidak ingin makan sup. Daun-daun itu tinggal empat. Aku ingin melihat yang terakhir jatuh sebelum gelap. Lalu aku juga akan pergi."
"Johnsy, sayang," ucap Sue, "maukah kamu berjanji padaku untuk menutup matamu, dan tidak melihat keluar jendela sampai aku selesai bekerja? Aku   harus menyerahkan lukisan-lukisan itu besok."
"Beritahu aku kalau kamu sudah selesai," kata Johnsy, menutup kedua matanya dan terbaring pucat, terdiam seperti patung yang roboh. "Aku ingin melihat daun terakhir itu jatuh. Aku lelah menunggu. Aku lelah berpikir. Aku  ingin merenggangkan peganganku pada semuanya, dan berlayar jauh, jauh, seperti salah satu daun yang malang itu."