Mohon tunggu...
Hadi Shang
Hadi Shang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penyuka sepak bola dan kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Batu Ruyud ke Cikeas Mengobarkan Semangat Literasi

3 Maret 2024   02:28 Diperbarui: 3 Maret 2024   05:33 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama (dok. Tantri)

Memang benar adanya dan itulah kenyataannya. Usai mengikuti Batu Ruyud Writing Camp, lahirlah sebuah karya berupa buku dengan judul Menjelajahi Misteri Perbatasan. 

Melalui buku tersebut, saya jadi mengetahui seperti apa dan bagaimana kondisi pendidikan di daerah perbatasan. Seperti yang ditulis oleh Johan Wahyudi dalam tulisan berjudul Mirisnya Pendidikan Perbatasan Kalimantan Utara.

Saya juga jadi mengetahui tentang daya hidup warga perbatasan melalui tulisan Arie Saptaji dengan judul Krayan: Nilai Kearifan dan Daya Hidup Warga Perbatasan.

Seperti apa perekonomian di daerah perbatasan? Wulan Ayodya, S.E, M.M menuangkannya dalam tulisan berjudul Ekonomi Biaya Tinggi di Perbatasan.

Bahwa suku Dayak memiliki kekuatan tersendiri. Itu benar adanya. Melalui tulisan Arif Senjaya yang berjudul Wa Gatum: Model Kekuatan Keluarga dan Kepemimpinan Dayak Lundayeh, saya mengetahui seperti apa dan bagaimana kekuatan yang mereka jaga sampai sekarang.

Apa itu manusia sungai? Saya baru mengetahuinya lewat tulisan Matius Mardani yang berjudul Manusia Sungai Krayan: Dayak Bangkit, Dayak Indonesia. 

Begitu juga mengenai filosofi dan budaya manusia Dayak. Semua dikupas tuntas oleh Agustina melalui tulisannya dengan judul Filosofi Alam dan Budaya Manusia Dayak Krayan (Lengilo').

Yang tak kalah menarik tentu saja pengetahuan tentang busana adat. Seperti apa sih busana adat orang Dayak itu? Arbain Rambey memotret hal tersebut dan menuangkannya dalam tulisan berjudul Busana Adat dan Ornamen Dayak Lundayeh. 

"Kalimantan sebagai tempat jin buang anak" sebuah lontaran yang menyakitkan. Tidak hanya bagi orang Kalimantan itu sendiri tapi juga bagi orang Sunda khususnya seperti Kang Pepih Alias Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana.

Si pelontar kata-kata menyakitkan tersebut adalah orang Sunda. Jadilah satu orang Sunda tersebut merusak citra orang Sunda secara keseluruhan.

Melalui tangan dinginnya, citra tersebut coba ia perbaiki. Tentu saja dengan lapang dada dan hati dingin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun