Cikeas. Nama yang sudah tak asing terdengar. Tempat yang identik dengan mantan presiden Republik Indonesia.
Melintasi daerah Cikeas bukan kali ini saja. Sudah beberapa kali. Jadi bagi saya bukan hal baru saat mendapat undangan acara ke sana.
Bahwa di Cikeas ada sekolah alam, lokasi acara yang saya dan teman-teman Kompasianer akan kunjungi. Nah, itu barulah saya ketahui sekarang.
Begitu pula dengan nama Batu Ruyud. Saya baru mengetahui ketika mendengar cerita dari para penulis buku Menjelajahi Misteri Perbatasan, dalam acara book launching dan bedah buku di Sekolah Alam Cikeas ini.
Padahal saya pernah juga menjejakkan kaki di daerah Kalimantan. Cukup tahu tentang wilayah perbatasan Indonesia dengan Sarawak, Malaysia. Serta tak asing dengan yang disebut suku Dayak.
Tapi bertemu dengan penulis, pegiat, dan penggerak literasi yang merupakan putra-putri Dayak ya baru kali ini. Semua karena literasi.
Book Launching dan bedah buku Menjelajahi Misteri Perbatasan mempertemukan saya dengan mereka. Juga mengenalkan saya dengan Sekolah Alam Cikeas. Inilah salah satu kekuatan literasi.

Semoga suatu saat saya bisa berkunjung ke sana juga. Aamiin. Karena memang sangat menarik. Hal tersebut saya ketahui saat bedah buku Menjelajahi Misteri Perbatasan.
Melalui cerita para penulis tersebut, yang salah satunya adalah Wakil Gubernur Kalimantan Utara, Dr. Yansen TP, M. SI. Saya mengetahui tentang Batu Ruyud.
Batu Ruyud, sebuah prasasti di pedalaman hutan Taman Nasional Kayan, Mentarang, Krayan Tengah, Nunukan, Kalimantan Utara, lahir energi besar literasi. Melalui Batu Ruyud Writing Camp, para penulis, pegiat, dan penggerak literasi menyatukan asa bersama untuk kemajuan bangsa melalui tulisan.
Memang benar adanya dan itulah kenyataannya. Usai mengikuti Batu Ruyud Writing Camp, lahirlah sebuah karya berupa buku dengan judul Menjelajahi Misteri Perbatasan.
Melalui buku tersebut, saya jadi mengetahui seperti apa dan bagaimana kondisi pendidikan di daerah perbatasan. Seperti yang ditulis oleh Johan Wahyudi dalam tulisan berjudul Mirisnya Pendidikan Perbatasan Kalimantan Utara.
Saya juga jadi mengetahui tentang daya hidup warga perbatasan melalui tulisan Arie Saptaji dengan judul Krayan: Nilai Kearifan dan Daya Hidup Warga Perbatasan.
Seperti apa perekonomian di daerah perbatasan? Wulan Ayodya, S.E, M.M menuangkannya dalam tulisan berjudul Ekonomi Biaya Tinggi di Perbatasan.
Bahwa suku Dayak memiliki kekuatan tersendiri. Itu benar adanya. Melalui tulisan Arif Senjaya yang berjudul Wa Gatum: Model Kekuatan Keluarga dan Kepemimpinan Dayak Lundayeh, saya mengetahui seperti apa dan bagaimana kekuatan yang mereka jaga sampai sekarang.
Apa itu manusia sungai? Saya baru mengetahuinya lewat tulisan Matius Mardani yang berjudul Manusia Sungai Krayan: Dayak Bangkit, Dayak Indonesia.
Begitu juga mengenai filosofi dan budaya manusia Dayak. Semua dikupas tuntas oleh Agustina melalui tulisannya dengan judul Filosofi Alam dan Budaya Manusia Dayak Krayan (Lengilo').
Yang tak kalah menarik tentu saja pengetahuan tentang busana adat. Seperti apa sih busana adat orang Dayak itu? Arbain Rambey memotret hal tersebut dan menuangkannya dalam tulisan berjudul Busana Adat dan Ornamen Dayak Lundayeh.
"Kalimantan sebagai tempat jin buang anak" sebuah lontaran yang menyakitkan. Tidak hanya bagi orang Kalimantan itu sendiri tapi juga bagi orang Sunda khususnya seperti Kang Pepih Alias Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana.
Si pelontar kata-kata menyakitkan tersebut adalah orang Sunda. Jadilah satu orang Sunda tersebut merusak citra orang Sunda secara keseluruhan.
Melalui tangan dinginnya, citra tersebut coba ia perbaiki. Tentu saja dengan lapang dada dan hati dingin.
"Siapa yang merusak siapa pula yang memperbaiki."
Kan semacam itu jadinya. Melalui tulisannya dengan judul Batu Ruyud, Tonggak Kebangkitan Literasi Nusantara. Ia (Pepih Nugraha) ingin mengubah Dayak yang tadinya dihina kembali terhormat.
Tentu saja melalui literasi. Karena itulah kekuatannya. Senjatanya. Maka jadilah Batu Ruyud Tonggak Kebangkitan Literasi Nusantara umumnya dan literasi Sunda khususnya.

Isu SARA yang dilontarkan oleh seorang Edi Mulyadi sangat melukai mereka orang Dayak dan orang Kalimantan pada umumnya. Jangan sampai ada lagi orang-orang semacam Edy Mulyadi.
Melalui literasi dan lewat tangan dingin seorang Pepih Nugraha, luka batin tersebut coba diobati. Tentu saja atas dukungan semua pihak terutama atas niat baik Dr. Yansen TP, inisiator pekan Literasi di Batu Ruyud.
Setelah api itu berkobar di Batu Ruyud, mereka membawanya ke Cikeas dan kembali mengobarkannya di sana. Kita semua yang hadir di sana tersulut semangat literasi yang mereka kobarkan.
Salam Literasi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI