Mohon tunggu...
Hadi Sastra
Hadi Sastra Mohon Tunggu... Dosen - Guru, Dosen, Penulis

Hadi Sastra, seorang Guru, Dosen, dan Penulis, tinggal di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Menyukai bidang sastra, bahasa, literasi, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secercah Cahaya Taubat

30 Juli 2021   23:07 Diperbarui: 30 Juli 2021   23:54 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang ustaz memperhatikan laki-laki yang sedang sempoyongan. Dari mulutnya tercium bau alkohol. Laki-laki tersebut merasa risih dan tidak suka, lalu mendatangi sang ustaz.

            “Kenapa Ustaz melihat saya?” tanya laki-laki itu dengan mata memerah.

            “Tidak,” jawab ustaz tenang.

            “Tidak apa?”

            “Yang Saudara lihat?”

            “Dari tadi melihat saya.”

            “Dari mana Saudara tahu?”

“Saya melihat sendiri”

“Sendiri?”

“Jangan main-main dengan saya?”

“Yang melihat bukan cuma saya. Bukan juga Saudara.”

“Apa maksud Ustaz? Dari tadi saya tidak melihat siapa pun selain kita berdua.”

“Ada yang lebih melihat.”

“Maksudnya?”

“Allah.”

“Ah,” laki-laki mendesah, tidak suka.

“Kita tidak melihat, tapi Dia melihat kita.”

Laki-laki makin tak suka. Dia merasa diceramahi.

“Ustaz belum tahu siapa saya?”

“Apa Saudara tahu?”

“Ustaz bagaimana? Tentu saya tahu diri sendiri.”

“Tahu betul?”

Laki-laki geram.

“Apa maksud Ustaz?”

“Kalau Saudara tahu siapa diri Saudara, berarti tahu siapa Allah.”

“Apa urusannya dengan Allah?”

“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.”

“Apa itu?”

“Saudara betul tahu diri Saudara?”

“Kenapa Ustaz mengulang itu lagi?”

“Siapa yang mengenal dirinya, pasti mengenal Allah.”

“Ustaz jangan menceramahi saya?”

“Siapa yang menceramahi? Itu perkataan Nabi.”

Sekali lagi laki-laki mendesah. Makin tak suka. Namun, sanubarinya mulai tersentuh.

“Saya heran. Kenapa setiap orang mengusik kehidupan saya. Jijik melihat saya.”

“Karena sayang.”

“Cuih,” laki-laki meludah, mencibir, “Persetan dengan sayang!”

“Percayalah, semua orang menyayangi Saudara.”

“Mana buktinya? Kenapa mereka menjauhi saya? Mencampakkan saya?”

“Bersediakah Saudara bercerita kepada saya tentang diri Saudara?”

Akhirnya, laki-laki itu menceritakan perjalanan singkat hidupnya. Dua tahun yang lalu bisnisnya gulung tikar akibat kalah persaingan, lalu dia menganggur. Perubahan total mewarnai hidupnya. Dia mulai stres, pelampiasannya adalah dengan bermabuk-mabukan. Sang istri menggugat cerai karena tak tahan dengan kondisi, ditambah akibat sikap dan perlakuan dirinya yang sering kasar. Setahun kemudian mereka resmi bercerai. Istri dan anak-anak pergi meninggalkannya. Dia menjalani hidupnya seorang diri. Maka lengkaplah kemelut yang dihadapinya.

“Tak ada lagi yang menyayangi saya.”

“Masih ada.”

“Tak ada.”

“Allah.”

“Ustaz jangan sebut-sebut itu lagi. Saya sudah lama tak mengingat nama itu.”

“Sekarang ingat.”

Laki-laki terdiam. Mulai tersentuh.

“Yakinlah, Allah selalu menyayangi Saudara,” ustaz menyampaikannya dengan bijak, “Saat ini Saudara telah mengingat-Nya kembali, itu tandanya Dia sayang terhadap Saudara. Masih membuka hati Saudara.”

Tak terasa sebutir air mata menetes dari mata laki-laki. Ustaz mulai merasakan secercah cahaya Allah menyelinap ke lubuk sanubari laki-laki itu.

Laki-laki tersungkur. Menyingkirkan botol yang dipegangnya. Kemudian menangis. Ustaz terus menyiraminya dengan kesejukan ajaran Ilahi.

“Masih adakah pintu taubat untuk saya?” suara laki-laki lemah.

“Alhamdulillah, Saudara telah insyaf. Allah tak akan pernah menutup pintu taubat bagi hamba-Nya. Terkecuali untuk satu dosa.”

“Apa itu?”

“Satu-satunya dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah adalah syirik.”

Laki-laki itu terpaku.

“Selama ini saya menganggap botol-botol minuman keras adalah penghibur saya, penyelamat saya. Apakah itu termasuk syirik.”

“Ya,” jawab ustaz mantap, “apa pun yang disembah selain Allah berarti syirik.”

“Tapi saya tidak menyembah.”

“Menganggap sesuatu sebagai penghibur, apa lagi penyelamat, itu sama dengan menyembah.”

“Astaghfirullahal ‘adziim,” spontan keluar kalimat tersebut dari mulut laki-laki itu. Spontan dia bersujud, larut dalam penyesalan sambil terus ber-istighfar bersama banjir air mata.  

Ustaz tersenyum puas. Disuruhnya laki-laki berdiri, lalu dirangkulnya. Laki-laki terus saja ber-istighfar.

“Allahu akbar,” ucap ustaz, “terima kasih ya, Allah, Engkau kembali menampakkan kebesaran-Mu.”

Ustaz memapah laki-laki untuk segera mengambil air wudhu karena waktu mendekati Maghrib. ■

 

Diterbitkan di Harian Tangsel Pos, edisi 15 November 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun