Mohon tunggu...
Hadi Saputra
Hadi Saputra Mohon Tunggu... -

Pekerja di Perusahaan swasta minyak goreng, hobi baca dan makan. Masih ngerasa muda,punya favoritisme pada jenis makanan tertentu seperti LAPO, membaca banyak bacaan yang kadang menimbulkan perasaan tidak menentu, asalnya dari Cirebon.\r\nMerasa hidup seharusnya bisa lebih baik jika orang-orang bisa mau saling mengerti dan memberi kesempatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jembatan dan Tembok

4 Februari 2010   11:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:05 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh, iya, jauh sih..." Saya jelas sudah merasa makin tidak nyaman dan mengumpati jadwal bis yang cenderung menurutku aneh dan sulit ditebak.

"Kalau si Mas-nya kerja di bagian apa?"

Saya menjawab sekenanya, dan mengarahkan leher menjauhi wajahnya menatap penuh harap pada arah tempat bis seharusnya datang. Sambil terus mencoba menyembunyikan kegelisahan sebisa mungkin dengan maksud menghargai dan mulai menenangkan diri. Walau rasanya ada perdebatan dalam hati antara perasaan dia tidak dan belum tentu bermaksud jahat, dengan awas, tetap waspada jangan lengah! Ya, dia sih dia terlihat biasa dan baik, apa yang perlu dirisaukan? Tapi tetap sekali lagi saya menengok dan mengamati tiga orang yang tak jauh dari kami di dekat tempat sampah itu, mereka masih nongkrong di sana.

"Saya sudah nikah mas, sudah ada anak satu, Mas sudah kawin?"

"Belum." Ujarku pendek sambil tersenyum, "belum mau nambah anak mas?" Pertanyaan lanjutan yang ringan dan mudah untuk melancarkan pembicaraan, saya mencoba lebih ramah.

"Udah mas, kemarinnya, tapi istri saya keguguran, habis dua juta setengah."

"Oh..." Saya mau sekali melihat mimik saya saat itu, sungguh saya mencoba menampilkan simpati itu di wajah, tapi dia belum terlalu saya kenal, jadi mungkin memang tidak benar-benar dari hati. Tapi saya pikir sudah seharusnya saya terdiam dan mengangguk sedikit sambil memberikan tatapan simpatik.

Dia masih duduk di samping dan tidak risih dengan bawaannya maupun hidupnya. Obrolan malah mengalir ke kenalannya yang kini sukses punya dua ruko. Dipercaya oleh orang luar katanya, awalnya sama seperti dirinya, ‘mengasong' ujarnya lancar, tapi lalu dapat kesempatan. Kenalannya itu jadi kaya sekarang, dan dia cerita harga tanah daerah situ, sudah hampir satu milyar. Saya berdecak dan malah jadi berpikir ke arah peluang bisnis dan merasa melihat celah yang selama ini tidak pernah terungkap seperti disibakkan sedikit hingga punya kesempatan mengintip.

Saya bercerita sedikit tentang tempat saya kerja, lalu kampung halaman saya, dan tiba-tiba menyambung ke cerita tentang birokrasi pembuatan KTP. Ya ampun, dia bercerita KTP-nya baru selesai setelah 4 bulan, itu juga di'kejar' setiap hari. Pembayaran sudah selesai, tapi, ya ampun... Dan saya dengan semangat menimpali kekecewaannya dengan persetujuan, ada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam administrasi kenegaraan bahkan di tingkat terendah.

Lalu dia cerita tentang Andry Wongso. Saya sudah tidak terlalu mengkhawatirkan dompet dan pakaian saya yang mungkin agak mencolok itu. Dia termotivasi katanya. Sama orang yang tidak sekolah, tapi bisa sukses. Saya tertawa ringan, tertegur sekaligus lega. Saya tahu dan pernah mendengar langsung Pak Andry dalam kesempatan seminar yang diadakan kantor, tapi saya belum sempat cerita mengenai hal itu. Bis 27 itu datang, tapi bahkan waktu bis itu sudah melewati halte kami sedikit untuk berhenti sebelum lampu merah, saya masih duduk dan mendengar dia cerita tentang kekagumannya. Sore yang tak biasa, di dalam bis setelah saya mengucapkan salam dan maaf karena harus permisi duluan, saya betul ingat kisah tembok dan jembatan itu.

Dia membuat jembatan dengan kejujuran dan ketulusan, dan saya membangun tembok dengan kecurigaan. Kehati-hatian memang pernah membuat saya lolos dari tindak kriminal di lokasi tidak jauh dari situ kira-kira dua tahun silam, tapi tembok juga menghalangi sudut pandang dan uluran relasi yang seharusnya bisa terjalin indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun