"Buku apa yang terakhir kali Anda baca," tanya seorang bos kepada anak buahnya ketika mengawali rapat redaksi sore di sebuah 'pabrik koran'.
"Saya sudah membaca buku AA karya penulis BB, pak," jawab si anak buah.
Mendengar jawaban anak buahnya tersebut, sang bos tidak lantas puas. Justru, dia semakin gencar melepaskan pertanyaan.
"Bila sudah membaca buku itu, apa coba pesan yang ingin disampaikan penulisnya dari buku itu".
"Apakah kamu tahu, di halaman sekian, ada nasihat penting di buku itu".
"Apakah kamu tahu bagaimana olah pikir kreatif penulis dalam menulis buku ini".
Pendek kata, sang bos bertanya tidak sekadar bertanya. Tapi, dia bertanya karena sudah melakukannya.
Dia memang doyan membaca buku. Karenanya, dia tahu banyak perihal buku yang disampaikan oleh beberapa anak buahnya itu.
Hari Buku Sedunia
Sebagai informasi, dialog bos dan anak buahnya tentang buku tersebut bukanlah percakapan imajiner. Tapi, itu kisah nyata.
Saya membangun kembali dialog cerita itu berdasarkan cerita nyata seorang teman.
Dan, pak bos dalam cerita itu adalah sosok yang sangat terkenal. Seorang pengusaha media sukses. Pun, pernah menjabat menteri.
Tapi, saya tidak akan menceritakan hal itu panjang lebar. Cukuplah itu menjadi cerita pembuka peringatan Hari Buku Sedunia.
Ya, hari ini, 23 April 2024 merupakan Hari Buku Sedunia.
Ada banyak angle cerita tentang buku yang bisa diulas. Meski, popularitas buku kini mungkin tidak lagi sepopuler dua atau tiga dekade silam.
Sebab, dalam hal ketenaran, buku kini sudah kalah dari gawai.
Bicara buku, ada satu 'mitos' yang diyakini kebenarannya oleh sebagian kalangan. Percaya atau tidak percaya, tapi mungkin Anda pernah mengalaminya.
Bahwa, berpikirlah dua kali sebelum meminjamkan buku kepada orang lain.
Bahkan, dalam pandangan yang lebih ekstrem, muncul ujaran, "jangan sekali-kali meminjamkan bukumu kepada orang lain".
Malah, seorang kawan dengan lugas berujar, hanya orang-orang bodoh yang meminjamkan bukunya kepada orang lain.
Kenapa bisa begitu?
Sebab, ada banyak orang yang mengalami kejadian tak terduga setelah meminjamkan bukunya. Ternyata, buku itu tidak pernah kembali kepada pemiliknya. Tidak dikembalikan.
Malah, urusan meminta kembali buku yang dipinjam ini terkadang bisa seserius seperti orang yang menagih utang.
Ketika meminjam mudah saja, tapi giliran ditagih susah.
Buku-buku yang tidak pernah kembali
Saya bisa bicara begitu karena saya mengalaminya langsung.
Ada cukup banyak buku saya yang dipinjam teman, tapi belum balik hingga kini.
Malah ada yang tidak jelas nasibnya. Celakanya, beberapa di antaranya adalah buku-buku kesayangan.
Salah satunya, buku yang dipinjam teman semasa liputan. Dulu ketika masih bertugas liputan di lapangan, mengobrol menjadi rutinitas yang asyik ketika menunggu narasumber untuk diwawancarai
Entah bagaimana awalnya, mendadak bercerita perihal buku. Salah satunya buku ;awas Trilogi Sepak Bola karya Sindhunata yang sangat terkenal itu. Â
Seingat saya, dari tiga buku Air Mata Bola, Bola Di Balik Bulan, dan Bola-Bola Nasib, salah duanya dipinjam kawan itu.
Dan setelah beberapa tahun, buku itu tidak pernah kembali. Malah ada kabar dia sudah berpindah domisili ke luar pulau. Â
Saya pernah mencoba berkirim pesan WhatsApp untuk bertanya kabar. Tak lupa menanyakan buku itu. Kata dia masih aman dan tersimpan di rumah ibunya. Tapi entah kapan dikembalikan.
Pernah juga seorang kawan main ke rumah. Kami mengobrol santai di teras rumah.
Kebetulan, di teras rumah, ada rak dekorasi berisi beberapa buku. Jadilah buku "Muhammad" karangan Martin Lings yang terkenal itu dipinjam olehnya.
Dan, setelah empat tahun berlalu, buku tebal yang saya beli sewaktu bertugas di Jakarta pada awal tahun 2008 itu belum pernah kembali.
Ada pula beberapa buku legendaris Pramoedya Ananta Toer yang dipinjam kawan dan belum kembali hingga sekarang. Salah duanya Novel "Arok Dedes" dan "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels".
Kisah peminjaman buku yang kedua ini malah agak lucu.
Sebab, yang meminjam merupakan salah satu junior saya di kantor. Sebelum meminjam itu, kami ada obrolan perihal "setop meminjamkan buku ke orang lain".
Dia lantas meminjam buku itu dengan jaminan meyakinkan saya bahwa dirinya berbeda dengan para peminjam buku saya sebelumnya. Saya pun percaya.
Toh, kami rutin bertemu. Dia juga cukup sering main ke rumah.
Tak disangka, ternyata dia malah resign dari kantor. Dia bercerita tertarik dengan tawaran pekerjaan di Kalimatan. Bagaimana buku itu? Ah tahu sendiri hehehe.
Meminjam Buku itu Baik, Asal Akadnya Jelas
Tentu saja, meminjamkan buku kepada orang lain itu bagus. Â Saya pun bukan orang yang pelit meminjamkan buku.
Di tengah maraknya gawaisasi di kalangan anak muda, menularkan semangat membaca dengan meminjamkan buku kepada mereka yang tidak bertumbuh dengan buku, tentu bagus.
Harapannya, mereka yang meminjam itu jadi bisa senang membaca buku. Sebab, bagaimanapun buku adalah jendela dunia.
Malah, urusan meminjamkan buku ini bukan hanya tentang menyebarkan 'virus' membaca.
Urusan ini bisa juga menjadi pahala jariyah. Bagaimana bila ternyata di buku yang kita pinjamkan tersebut ada pesan bagus. Lantas, kawan tersebut kemudian berubah menjadi lebih baik karena pesan di buku tersebut.
Tentu kita selaku yang meminjami buku, juga kecipratan pahala kebaikan karena menjadi perantara ilmu yang bermanfaat.
Tapi memang, urusan pinjam meminjam buku ini tentu harus tertib. Harus sesuai akadnya.
Bahwa, namanya meminjam tentu harus dikembalikan. Ada waktunya untuk mengembalikan. Bukan lantas lupa atau pura-pura lupa tidak mengembalikan.
Sampean (Anda) yang duduk di bangku SD di awal tahun 90-an seperti saya, mungkin pernah mengalami meminjam buku di perpustakaan sekolah. Bahwa, buku yang dipinjam harus dikembalikan dalam waktu maksimal tiga hari.
Bila melanggar, maka si peminjam bisa terkena sanksi. Hukumannya bisa berupa dilarang sementara memijam buku di perpustakaan.Â
Sebab, dia sudah ditandai sebagai sosok persona non grata dalam hal pinjam memimjam buku di perpustakaan sekolah.
Pada akhirnya, semoga peringatan Hari Buku Sedunia menyadarkan kita untuk tetap cinta membaca buku di tengah gempuran digitalisasi informasi.
Saya pribadi meyakini, meski sudah ada buku elektronik, buku konvensional masih akan tetap eksis. Sebab, kenikmatan membaca buku dengan membolak-balik tiap halaman dan membaui aroma kertas buku, tidak bisa digantikan oleh buku digtal.Â
Selamat Hari Buku Sedunia. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H