Tentu saja, meminjamkan buku kepada orang lain itu bagus. Â Saya pun bukan orang yang pelit meminjamkan buku.
Di tengah maraknya gawaisasi di kalangan anak muda, menularkan semangat membaca dengan meminjamkan buku kepada mereka yang tidak bertumbuh dengan buku, tentu bagus.
Harapannya, mereka yang meminjam itu jadi bisa senang membaca buku. Sebab, bagaimanapun buku adalah jendela dunia.
Malah, urusan meminjamkan buku ini bukan hanya tentang menyebarkan 'virus' membaca.
Urusan ini bisa juga menjadi pahala jariyah. Bagaimana bila ternyata di buku yang kita pinjamkan tersebut ada pesan bagus. Lantas, kawan tersebut kemudian berubah menjadi lebih baik karena pesan di buku tersebut.
Tentu kita selaku yang meminjami buku, juga kecipratan pahala kebaikan karena menjadi perantara ilmu yang bermanfaat.
Tapi memang, urusan pinjam meminjam buku ini tentu harus tertib. Harus sesuai akadnya.
Bahwa, namanya meminjam tentu harus dikembalikan. Ada waktunya untuk mengembalikan. Bukan lantas lupa atau pura-pura lupa tidak mengembalikan.
Sampean (Anda) yang duduk di bangku SD di awal tahun 90-an seperti saya, mungkin pernah mengalami meminjam buku di perpustakaan sekolah. Bahwa, buku yang dipinjam harus dikembalikan dalam waktu maksimal tiga hari.
Bila melanggar, maka si peminjam bisa terkena sanksi. Hukumannya bisa berupa dilarang sementara memijam buku di perpustakaan.Â
Sebab, dia sudah ditandai sebagai sosok persona non grata dalam hal pinjam memimjam buku di perpustakaan sekolah.