Di masa-masa awal kuliah pada pembuka era 2000-an silam, buku-bukunya pujangga Kahlil Gibran pernah jadi favorit mahasiswa se-angkatan saya.
Saya terkenang, ketika mampir ke toko buku, rak tempat memajang buku-buku Kahlil Gibran pasti ramai. Ada saja anak muda yang membaca bukunya di tempat. Ada pula yang segera membawa bukunya ke kasir. Dibeli.
Apakah dibaca?
Tentu saja. Zaman itu, budaya membaca buku di kalangan anak-anak muda masih tinggi. Toko buku masih menjadi tempat favorit untuk dikunjungi (termasuk toko kaset pita).
Meski, tidak ada yang lantas menuliskan kutipan menarik di buku itu ke dalam status unggahan di media sosial seperti sekarang. Karena kala itu memang belum ada media sosial. Palingan ditulis di buku diary ataupun dikutip ketika mengobrol dengan teman kos ataupun diskusi di kampus.
Dari sekian banyak kutipan dari puisi sang pujangga yang seringkali dicomot teman-teman kala itu, ada salah satu quote yang paling saya ingat.
Bunyinya kurang lebih begini:
"Dan, jika kau tidak bisa bekerja dengan cinta, tetapi hanya dengan kebencian, lebih baik kau tinggalkan saja kerjamu dan duduk di gerbang rumah suci, dan menerima sedekah dari mereka yang bekerja dengan gembira".
Saya mendadak teringat kutipan yang sepertinya juga ada di salah satu lirik lagu hitsnya KLA Project itu, berkorelasi dengan situasi yang pernah terjadi di tempat saya bekerja. Dari beberapa tempat kerja yang pernah saya  'nguli', ada beberapa kisah yang kiranya perlu dibagikan.
Kisah yang sekadar diceritakan untuk menjadi pembelajaran. Diambil hikmahnya.
Bila bisa dibawa enjoy kenapa sesat berpikir
Saya pernah memiliki teman kerja yang anaknya rajin. Sebenarnya mau berkerja keras. Semangat kerjanya bagus. Mau diajak kerja. Diajak diskusi rapat ke kantor, oke. Diajak bertemu orang untuk membangun jejaring, juga siap. Tugas harian yang wajib dia kerjakan juga diberesi.
Namun, setelah beberapa bulan, citra etos kerja tinggi yang melekat padanya itu mendadak berubah. Pemicunya setelah dirinya mengetahui dan merasa bahwa besaran gaji yang diterimanya ternyata berbeda cukup jauh dengan gaji para seniornya.
Sebagai informasi, tempat kerja ini adalah sebuah tempat kerja rintisan. Baru lahir.
Ada beberapa orang yang menjadi foundernya. Sebutlah para seniornya. Lantas, mengajak beberapa kenalan dan teman yang diketahui punya skill kemampuan untuk mendukung membesarkan perusahaan ini. Ada yang masuk grade menengah. Ada juga pemula. Teman tersebut masuk grade menengah.
Tentu saja, sebelum berdirinya tempat kerja itu, sebelum merekrut karyawan, founder yang harus kerja pontang-panting.
Mereka harus bolak-balik rapat. Jadi konseptor visi misi, mendesain aturan dan quality control di tempat kerja, membangun networking, melakukan perekrutan. hingga pelatihan tim baru. Namanya juga tempat kerja rintisan. Semuanya kudu bergerak bareng dengan tugasnya masing-masing.
Soal besaran gaji, sudah ditentukan oleh pemimpin perusahannya alias yang punya modal. Bahwa, yang merintis gajinya segini. Lalu mereka yang direkrut dan ada di grade menengah gajinya segini dan karyawan pemula gajinya di angka ini. Besaran gaji tersebut tentunya merujuk pada peran dan bobot tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Sampai suatu ketika, teman itu mengetahui gaji para seniornya yang dianggapnya tinggi (meski sebenarnya juga tidak terlalu tinggi). Katakanlah semisal gaji UMK (upah minimum kota) di kota itu Rp 4 juta. Gaji dia Rp 5 juta dan gaji seniornya dua kali lipatnya. Sementara para pekerja yang baru direkrut digaji setara UMR.
Sejak itu, sikapnya berubah. Dia yang dulu bersemangat bekerja dan gampangan diajak kerja, mengubah image dirinya menjadi 'jual mahal'. Semangat kerjanya mulai menurun. Seolah keringatnya mahal sekali harganya. Seperti dia tidak sadar bahwa sikap begitu bisa merugikan dirinya sendiri.
Padahal, kerja gercepnya itu yang selama ini jadi asetnya dia. Sedangkan dalam hal soft skill berkomunikasi, utamanya dengan teman-temannya, dia masih harus banyak belajar.
Terlebih bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang empuk dengan senior dan mengobrol yang santuy dengan juniornya. Kalau kata anak sekarang, adabnya kurang.
Yang terjadi kemudian, bos mendapatkan laporan tentang sikapnya itu. Bos yang sebal, mengeluarkan ultimatum. Bila memang sudah tidak ingin bekerja di tempat kerja yang sekarang, dia dipersilahkan keluar. Untungnya, masalah itu bisa diselesaikan baik-baik. Kawan itu memilih bertahan dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Dampak rasa iri
Kembali ke judul tulisan ini, betapa rasa iri seseorang yang mendadak muncul dalam dunia kerja itu berbahaya. Ya, berbahaya bagi dirinya sendiri. Juga berbahaya bagi tim.
Jadinya, mereka yang awalnya bekerja dengan enjoy, mendadak berubah karena dipaksa oleh perasaannya. Karena pikiran buruknya terhadap orang lain karena rasa iri. Kerja pun jadi nggak nyaman.
Bayangkan, andai kawan saya itu langsung dikasih kartu merah alias disuruh keluar dari perusahaan oleh bos, apa tidak menangis semalam. Sementara dirinya belum punya 'pelampung' semisal keluar saat itu juga.
Sifat iri ini juga berbahaya bagi tim. Sudah pasti, bila ada personel yang bekerjanya tidak perform, maka tim juga akan sulit untuk mengejar target yang ingin dicapai. Jadinya seperti musuh dalam selimut.
Lebih berbahaya lagi bila dia malah mengompori teman-teman kerjanya dengan prasangka, fitnah, dan perasaan tidak suka yang membara dalam dirinya. Mengarahkan orang lain memiliki pemikiran yang sama seperti dirinya. Duh, mau jadi apa sebuah tim kerja bila seperti itu.
Dulu, seorang senior di tempat kerja pernah bilang begini: jangan sekali-kali mendoakan buruk tempat kita bekerja. Sebab, bila doa buruk itu betulan terjadi, kita sendiri yang akan merasakan dampaknya.Â
Dalam bahasa yang lebih terdengar familiar, jangan pernah mengencingi sumur tempat kamu minum. Sebab, sesebal apapun dirimu pada sumur itu, toh kamu meminum airnya. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H