Bila bisa dibawa enjoy kenapa sesat berpikir
Saya pernah memiliki teman kerja yang anaknya rajin. Sebenarnya mau berkerja keras. Semangat kerjanya bagus. Mau diajak kerja. Diajak diskusi rapat ke kantor, oke. Diajak bertemu orang untuk membangun jejaring, juga siap. Tugas harian yang wajib dia kerjakan juga diberesi.
Namun, setelah beberapa bulan, citra etos kerja tinggi yang melekat padanya itu mendadak berubah. Pemicunya setelah dirinya mengetahui dan merasa bahwa besaran gaji yang diterimanya ternyata berbeda cukup jauh dengan gaji para seniornya.
Sebagai informasi, tempat kerja ini adalah sebuah tempat kerja rintisan. Baru lahir.
Ada beberapa orang yang menjadi foundernya. Sebutlah para seniornya. Lantas, mengajak beberapa kenalan dan teman yang diketahui punya skill kemampuan untuk mendukung membesarkan perusahaan ini. Ada yang masuk grade menengah. Ada juga pemula. Teman tersebut masuk grade menengah.
Tentu saja, sebelum berdirinya tempat kerja itu, sebelum merekrut karyawan, founder yang harus kerja pontang-panting.
Mereka harus bolak-balik rapat. Jadi konseptor visi misi, mendesain aturan dan quality control di tempat kerja, membangun networking, melakukan perekrutan. hingga pelatihan tim baru. Namanya juga tempat kerja rintisan. Semuanya kudu bergerak bareng dengan tugasnya masing-masing.
Soal besaran gaji, sudah ditentukan oleh pemimpin perusahannya alias yang punya modal. Bahwa, yang merintis gajinya segini. Lalu mereka yang direkrut dan ada di grade menengah gajinya segini dan karyawan pemula gajinya di angka ini. Besaran gaji tersebut tentunya merujuk pada peran dan bobot tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Sampai suatu ketika, teman itu mengetahui gaji para seniornya yang dianggapnya tinggi (meski sebenarnya juga tidak terlalu tinggi). Katakanlah semisal gaji UMK (upah minimum kota) di kota itu Rp 4 juta. Gaji dia Rp 5 juta dan gaji seniornya dua kali lipatnya. Sementara para pekerja yang baru direkrut digaji setara UMR.
Sejak itu, sikapnya berubah. Dia yang dulu bersemangat bekerja dan gampangan diajak kerja, mengubah image dirinya menjadi 'jual mahal'. Semangat kerjanya mulai menurun. Seolah keringatnya mahal sekali harganya. Seperti dia tidak sadar bahwa sikap begitu bisa merugikan dirinya sendiri.
Padahal, kerja gercepnya itu yang selama ini jadi asetnya dia. Sedangkan dalam hal soft skill berkomunikasi, utamanya dengan teman-temannya, dia masih harus banyak belajar.