Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kompasiana, Wartawan Gadungan, dan Minimnya Literasi Jurnalistik

2 November 2023   09:39 Diperbarui: 4 November 2023   00:33 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama 18 tahun beraktivitas di dunia tulis-menulis (baca: jurnalistik), dari wartawan kemarin sore hingga kini beranjak sepuh, saya pernah beberapa kali bertemu dan berada satu ruang dengan wartawan gadungan.

Namanya gadungan, tentu bukan wartawan yang sebenarnya. Mereka hanya berpura-pura menjadi wartawan dengan ikut hadir semisal di acara jumpa pers atau kegiatan peliputan yang dihadiri oleh insan pers.

Umumnya, mereka menyamar dengan memakai nama media yang aneh dan unik. Karena namanya merupakan hasil bongkar pasang nama media yang sudah ada. Meski, terkadang tidak sulit mengenali yang gadungan.

Setahu saya, layaknya wartawan yang senang datang liputan ke acara secara berjamaah, mereka juga begitu. Bahkan jauh sebelum kita mengenal era grup WhatsApp, mereka sudah kompak. Maksudnya, datang ke acara ramai-ramai. Meski tidak diundang. Mereka seperti punya radar ntuk mendata acara apa yang akan mereka datangi di hari itu.

Bagi wartawan yang bekerja dengan benar, mereka datang dengan tujuan memang hanya untuk meliput. Mereka bakal menjalankan tugas jurnalistik secara benar. Datang ke lokasi, mewawancarai narasumber, mengumpulkan data, mengamati fakta, bila perlu memotret acaranya. Lantas, diolah menjadi tulisan.

Wartawan Gadungan Mengatasnamakan Kompasiana

Bagaimana bila wartawan gadungan?

Dari hasil berbincang dengan banyak orang, utamanya yang punya acara dan yang mengundang peliputan, mereka mendadak galau bila kedatangan 'tamu tak diundang'. Kalau untuk sekadar makan siang, mungkin bagi mereka tidak ada masalah. Namun, yang bikin resah bila ada yang meminta lebih.

Dan memang, ada guyonan di kalangan wartawan, bahwa mengundang orang untuk datang liputan itu mudah. Apalagi bila kegiatannya layak diberitakan dan yang datang juga narasumber top. Namun, yang susah itu bagaimana ketika acara selesai.

Apalagi bila ada wartawan gadungan. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bila mereka akan berupaya memburu 'oleh-oleh' untuk dibawa pulang. Tidak cukup hanya makan siang. Malah ada yang nekad meminta. Hal begini tentu bikin pusing yang mengundang.

Merujuk pengalaman pernah 'mengenal' wartawan gadungan itu, saya memaklumi ketika pihak Kompasiana menjadi galau, sebal, bahkan mungkin marah ketika tahu ada wartawan gadungan yang mengatasnamakan Kompasiana. Seperti di tulisan berjudul "Waspada Wartawan Gadungan Mengatasnamakan Kompasiana" yang tayang jadi Artikel Utama di awal November kemarin

Sedikit menukil isi dari artikel tersebut, bahwa pada hari Selasa (31/10) siang, Kompasiana menerima laporan mengenai ditemukannya aktivitas sejumlah orang yang mengaku sebagai mitra atau wartawan/jurnalis Kompasiana dalam melakukan kegiatan peliputan menggunakan atribut berlogo Kompasiana.

Pihak Kompasiana menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan nama/logo/identitas Kompasiana yang merugikan Kompasiana dan berpotensi melanggar hukum.

Karenanya, pihak Kompasiana pun merasa perlu untuk memberikan penegasan sekaligus mengingatkan kembali perihal apa itu Kompasiana. Ada empat poin yang ditegaskan dalam artikel tersebut.

Pertama, bahwa Kompasiana merupakan platform blog sosial yang dikembangkan oleh KG (Kompas Gramedia) Media. Oleh karenanya, Kompasiana tidak memiliki perangkat redaksi seperti yang biasanya dimiliki oleh media arus-utama seperti wartawan, jurnalis, reporter, editor, redaktur, maupun pemimpin redaksi.

Poin kedua, pengelola konten Kompasiana disebut sebagai Moderator. Dalam melakukan aktivitasnya, Moderator dibekali dengan tanda pengenal resmi berupa ID Card, lengkap dengan Nomor Induk Karyawan (NIK), identitas unit kerja, dan nama jelas.

Poin ketiga, moderator Kompasiana tidak pernah meminta pembayaran atau kompensasi dalam bentuk apapun terhadap objek peliputan atau pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan maupun penayangan konten.

Dan poin keempat, bahwa seluruh konten di Kompasiana dibuat dan ditayangkan secara mandiri oleh pengguna atau blogger atau Kompasianer yang telah melakukan registrasi di platform blog Kompasiana, sebagaimana yang biasanya dilakukan di platform media sosial.

Bahwa, siapapun bisa menayangkan konten di Kompasiana selama tidak melanggar Syarat & Ketentuan Kompasiana. Setiap konten yang ditayangkan di Kompasiana menjadi tanggung jawab pengunggah konten itu sendiri dan wajib tunduk terhadap ketentuan UU ITE.

Minimnya literasi jurnalistik di masyarakat

Itulah empat poin yang disampaikan dan ditegaskan pihak Kompasiana. Dan menurut saya itu sudah paripurna untuk menjelaskan perihal masalah dicatutnya nama Kompasiana oleh wartawan gadungan ini.

Bukannya merasa sebagai peramal ataupun datang dari masa depan. Tapi, sebenarnya, saya pernah terbersit dalam pikiran dan memperkirakan kemungkinan seperti ini akan terjadi.

Saya pernah membayangkan ada orang tidak bertanggung jawab yang mengaku wartawan dengan membajak nama Kompasiana. Mengisi daftar hadir acara dengan status sebagai wartawan Kompasiana. Bahkan mungkin nekat mencetak id kompasiana sebagai kartu pengenalnya.

Saya berpikiran begitu karena memang literasi jurnalistik dan wawasan tentang media di masyarakat kita, cukup minim. Bahkan ada yang sangat minim alias tidak tahu sama sekali.

Karena kurangnya literasi tersebut, bukan tidak mungkin ada yang kena gocek dan terkecoh dengan wartawan yang mengaku mengatasnamakan Kompasiana. Merasa wartawan gadungan itu memang wartawan dari 'media sedulurnya' Kompas.

Pikiran itu muncul saat saya membaca komentar dari warganet ketika membaca tautan berita Kompasiana yang dibagikan di media sosial. Utamanya Facebook. Ternyata, masih banyak warganet yang menganggap Kompasiana itu seperti media arus utama. Punya wartawan sendiri.

Banyak yang masih belum paham poin 1 dan poin 4 dari penjelasan pihak Kompasiana tersebut. Saya beberapa kali menemukan komentar warganet yang menyebut unggahan di FB Kompasiana itu tulisannya 'wartawan' Kompasiana. Lantas mengaitkan dengan Kompas.

Nah, minimnya literasi itu yang sepertinya kemudian menjadi celah yang dieksploitasi oleh oknum yang mengaku "wartawan Kompasiana". Mereka paham bahwa di luar sana, banyak yang belum tahu bahwa Kompasiana itu ya seperti yang dijelaskan dalam poin 1-4 tersebut.

Soal minimnya literasi masyarakat perihal jurnalistik dan wartawan gadungan ini pula yang kemudian ikut berperan merusak citra wartawan yang benar-benar bekerja dengan cara benar.

Pernah ketika mengantar anak ke sekolah, seorang petugas keamanan sekolah yang tahu saya seorang wartawan, mendadak menyampaikan cerita dan pertanyaan menggelitik.

Kata dia, sekolahnya baru kedatangan orang yang mengaku wartawan lantas meminta-minta duit dengan mencari-cari kesalahan sekolah tersebut. Dia pun lantas bertanya, "wartawan memang kerjanya minta duit begitu ya, Cak?"

Saya lantas memberikan penjelasan singkat kepadanya. Minimal agar dia paham bahwa wartawan begitu ya yang palsu alias gadungan.

Bahkan, untuk orang yang lebih melek media alias sering bersinggungan dengan awak media, masih banyak yang minim literasi. Semisal pejabat yang menjadi narasumber, ada juga yang masih belum bisa memahami mana wartawan yang benar dan gadungan, ataupun belum bisa membedakan media arus utama yang benar dan yang abal-abal.

Tapi memang, kita tidak bisa menyalahkan bila opini dan citra yang berkembang di masyarakat terhadap wartawan ternyata masih jelek. Salah satunya karena minimnya literasi dan gebyah uyah alias menganggap semua wartawan sama seperti yang mereka temui. Ketika yang mereka temui gadungan, ya dianggap semua wartawan melakukan praktik begitu. Duh.

Karenanya, ketika tidak lagi melakukan tugas peliputan di lapangan dan diamanahi memimpin wartawan baru di kantor baru, PR ini yang coba saya garap.

Sebagai murid yang pernah menimba ilmu di sekolah jurnalistik "Kelompok Kompas Gramedia", saya mencoba mengedukasi anak-anak muda yang memilih menjadi wartawan, agar mereka memiliki pemahaman yang benar, menjaga marwah sebagai wartawan yang benar.

Bila ada yang bilang menjadi wartawan yang benar bakalan sulit makan, berarti mainnya kurang jauh. Bahwa, ada banyak contoh wartawan benar yang 'bisa hidup'. Bahkan, lewat tulisan yang memang keren, mereka bisa hidup sejahtera. Salam. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun