Anak-anak Tidak Tahu Ada Permainan Lebih Asyik dari Gawai
Ketika sawah, tanah lapang, juga halaman rumah kini sudah berubah menjadi perumahan dan bangunan, anak-anak itu memang kehilangan tempat untuk bermain.
Mereka memang tinggal di desa. Namun, suasananya tidak lagi seperti desa. Bukan lagi desa yang dulu. Tetapi desa yang wajahnya sudah setengah kota.
Sawah-sawah yang separohnya sudah berganti perumahan. Lapangan bola yang entah hilang ke mana. Halaman pun kini berubah menjadi lahan berdagang.
Dengan situasi seperti itu, tidak mengherankan bila anak-anak itu tidak punya banyak pilihan untuk bermain. Palingan duduk bareng di teras ataupun di warung kopi sembari ngobrol game di handphone.
Bahkan, tidak jarang mereka yang rata-rata masih kelas 1, 3, 5 SD hingga 1 SMP itu "mencuri-curi" wifi gratis dari warung kopi di seberang jalan sekadar untuk bisa download game ataupun youtube-an.
Bila kebetulan sedang longgar, saya seringkali bercerita kepada mereka perihal masa lalu di kampung. Tentang bagaimana kondisi di kampung dulu. Juga tentang permainan anak-anak yang dimainkan di zaman dulu.Â
Tak sekadar bercerita, saya terkadang mengenalkan kepada mereka tentang permainan itu. Di antaranya benteng-bentengan ataupun "tekongan" yang merupakan sedikit modifikasi dari permainan sembunyi-sembunyian.
Dan, karena mereka memang sama sekali belum mengenal permainan anak-anak zaman dulu, tidak mudah untuk mengajari mereka. Mulai dari mengenalkan "teori" dan tata cara permainan kepada mereka.
Ternyata lebih sulit daripada mereka memainkan game di gawai mereka.
Terkadang saya pun mengajak istri atau saudara untuk ikut bermain supaya mereka lebih cepat paham. Dan, setelah beberapa kali mencoba, mereka akhirnya paham.