Thailand menjadi lawan Indonesia di final Piala AFF 2020 yang akan digelar dalam dua kali pertandingan.
Seperti judul film yang tengah diputar di boskop, teka-teki lawan Indonesia di final terjawab setelah Thailand bermain 0-0 melawan Vietnam pada laga semifinal II yang dimainkan di National Stadium Singapura, Minggu (26/12) malam.
Thailand, tim paling sukses di Piala AFF dengan pernah lima kali juara, lolos ke final karena unggul agregat 2-0 yang merupakan skor kemenangan mereka atas Vietnam di semifinal I lalu.
Sementara bagi Vietnam, kegagalan ke final membuat sang juara bertahan harus angkat koper. Kembali ke negaranya. Termasuk sang pelatih Park Hang-se0 yang pernah menyebut Indonesia tidak layak lolos ke semifinal.
Bagi Timnas Indonesia, melawan Thailand di final bukanlah cerita baru. Malah, Thailand-lah yang paling sering dihadapi Indonesia dalam penampilan di final.
Dari pengalaman lima kali main final di Piala AFF yang pernah dilakoni Indonesia, tiga di antaranya dengan menghadapi Thailand. Justru, Indonesia tidak pernah bersua Vietnam di final.
Lalu, bagaimana peluang Indonesia di final yang akan dimainkan pada 29 Desember 2021 dan 1 Januari 2022 nanti sehingga menjadikan Piala AFF 2020 ini turnamen sepak bola 'paling lama'?
Betapa tidak menjadi paling lama. Lha wong penyisihan dan semifinal di gelar tahun 2021 dan final keduanya digelar di tahun berikutnya.
Sebelum menjawab peluang Indonesia di final, mari melihat kelebihan dan kekurangan Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan dalam pertemuan melawan Thailand. Plus minusnya Indonesia.
Sisi plus Indonesia jumpa Thailand di final
Kita mulai dari sisi plusnya dulu. Sebab, konon, dengan memulai menjelaskan sisi plusnya lebih dulu, akan memunculkan rasa optimisme.
Kelebihan pertama Indonesia yang paling kasat mata adalah soal recovery pemain yang lebih lama.
Kita tahu, Indonesia memainkan semifinal lebih dulu, Sabtu (25/12). Â Asnawi cs tentu memiliki jeda istirahat sehari lebih lama untuk memulihkan kebugaran ketimbang pemain-pemain Thailand yang baru bermain tadi malam.
Meski, Indonesia harus bermain 120 menit di semifinal karena laga berujung perpanjangan waktu.
Sementara Thailand hanya butuh 90 menit untuk memastikan lolos ke final. Walau, laga tersebut beberapa kali terjadi ketegangan. Bahkan, kiper Thailand Chatchai Budprom mengalami cedera.
Tapi, soal recovery ini rasanya tidak akan terlalu memberikan perbedaan besar.
Sebab, kedua tim sudah menetap di kota yang sama karena venue semifinal dan final digelar di tempat yang sama.
Kecuali bila laga semifinal Thailand melawan Vietnam tadi malam dimainkan di kota yang berbeda. Apalagi bila Thailand harus menempuh perjalanan udara untuk segera tiba di National Stadium. Tentu itu menguntungkan Indonesia.
Pendek kata, rasa lelah yang dirasakan pemain, dengan sendirinya akan kalah oleh semangat dan kebanggaan bisa bermain di final. Itu sudah cukup untuk membakar semangat pemain dan menepikan lelah. Â
Alasan kedua, melawan Thailand akan menghadirkan nuansa baru bagi Asnawi dkk ketimbang menghadapi Vietnam yang pernah mereka hadapi di fase grup.
Karena belum pernah berjumpa di Piala AFF 2020 ini alias tidak berada satu grup, tentu mayoritas pemain-pemain Tim Garuda masih asing bagi pemain-pemain Thailand.
Memang, sepak bola itu ibarat buku terbuka yang siapa saja bisa membacanya. Tidak ada rahasia. Sebab, di era sekarang, sebuah tim bisa dengan mudah memantau permainan calon lawannya lewat rekaman video.
Namun, bila hanya lewat video, mereka belum merasakan langsung berduel di lapangan.
Apalagi, skuad Indonesia di Piala AFF 2020, mayoritas baru kali ini tampil di turnamen yang dimulai sejak 1996 ini.
Hanya ada tiga pemain di tim Indonesia kini yang masuk skuad di Piala AFF 2018 lalu saat satu grup dengan Thailand. Yakni bek Fachrudin Aryanto, gelandang Evan Dimas, dan striker Dedik Setiawan.
Dan, hanya Fahcrudin serta Evan Dimas yang ikut tampil saat Indonesia berjumpa Thailand di final Piala AFF 2016 silam. Evan kala itu baru berusia 21 tahun.
Pendek kata, mayoritas pemain-pemain Thailand belum merasakan rasanya adu lari dengan Irfan Jaya, Ramai Rumakiek, Witan Sulaiman ataupun gocekan Egy Maulana Vikri. Itu bisa jadi kelebihan Indonesia.
Alasan ketiga, Tim Garuda yang berisikan banyak anak muda berusia 20 tahunan, bakal termotivasi untuk memberikan gelar pertama bagi Indonesia sejak 1996.
Pratama Arhan yang penampilannya menyita perhatian di Piala AFF ini, usianya baru 19 tahun. Begitu juga Ramai Rumakiek dan Elkan Baggott. Sementara Witan, Rizky Ridho, dan Alfeandra Dewangga baru 20 tahun. Egy kini 21 tahun. Lalu Asnawi serta Rahmat Irianto masih 22 tahun.
Plus, Ricky Kambuaya (25 tahun) dan Irfan Jaya (25 tahun) yang memperlihatkan kematangannya di turnamen ini.
Sejak babak penyisihan grup, anak-anak muda yang dibawa Pelatih Shin Tae-yong ini sudah membuktikan bahwa mereka memang layak membela Indonesia di turmanen ini.
Meski diremehkan lawan karena dianggap 'masih hijau', tetapi Asnawi dkk membuktikan mereka muda tapi berbahaya. Malaysia dan Singapura yang berisikan pemain-pemain lebih matang, faktanya takluk.
Keunggulan Thailand
Tetapi memang, harus diakui, Thailand juga punya kelebihan yang tidak dimiliki Indonesia di final nanti.
Tim Gajah Putih yang kini dilatih pelatih asal Brasil, Alexandre Polking, masih mengandalkan nama-nama pemain yang main di tim Piala AFF 2018 saat dilatih pelatih asal Serbia, Milovan Rajevac yang terhenti di semifinal.
Rata-rata usia mereka di atas 25 tahun. Dari 11 pemain yang dimainkan saat melawan Vietnam tadi malam, hanya satu pemain yang berusia 22 tahun, yakni Kritsada Kaman.
Selebihnya usianya di atas 26 tahun. Seperti bek Manuel Bihr (28 tahun), Theerathon Bunmathan (31 tahun), dan Narubadin Weerawatnodom (27 tahun). Di tengah ada Sarach Yooyen (29 tahun), Thitiphan Puangchan (28 tahun), Phitiwat Sukjitthammakul (26 tahun).
Lalu kapten mereka, Chanathip Songkrasin (28 tahun), dan penyerang Teerasil Dangda (33 tahun) yang sudah mencetak 4 gol, plus Pathompol Charoenrattanapirom (27 tahun).
Secara permainan, pengaruh Polking membuat Thailand kini terlihat rasa Brasilnya. Gol kedua Thailand ke gawang Vietnam di semifinal pertama yang tercipta lewat perpaduan umpan pendek satu dua, sangat terasa Brasilnya.
Yang jelas, dari usia tersebut, pemain-pemain Thailand lebih punya pengalaman ketimbang pemain-pemain Indonesia. Mereka lebih matang. Ini kelebihan pertama Thailand.
Tapi, dalam hal ini, kuncinya sebenarnya bukan soal pengalaman atau tidak. Tapi lebih kepada mental. Usia muda bukan kendala bila mentalitas mereka oke. Asnawi cs membuktikan mereka punya mental tangguh dan siap menghadapi Thailand.
Kelebihan kedua Thailand adalah head to head melawan Indonesia di final.
Dari tiga kali pertemuan melawan Indonesia di final Piala AFF tahun 2000, 2002 dan 2016, Thailand selalu bisa juara dengan tiga cerita berbeda.
Dalam perjumpaan pertama di final, Thailand mengalahkan Indonesia dengan skor telak, 4-1 di final edisi 2000. Lantas menang adu penalti 4-2 di final Piala AFF 2004 usai bermain imbang 2-2.
Tahun 2016 lalu di final yang digelar dua kali, Indonesia sebenarnya mengalahkan Thailand 2-1 di leg pertama. Namun, kalah 0-2 di leg II. Thailand pun menang agregat 3-2 dan juara.
Toh, saya percaya, akan selalu ada yang pertama di sepak bola. Siapa tahu, tahun ini Indonesia dengan skuad mudanya, tampil mengejutkan dan bisa juara dengan mengalahkan Thailand di final.
Namun, bilapun cerita pahit di final sebelumnya terulang, Tim Garuda sejatinya tidak gagal.
Bagi saya, Shin Tae-yong sudah berhasil membangun Tim Garuda berisikan anak-anak muda hebat. Tim ini menjadi pondasi kuat bagi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Tentunya bila Shin Tae-yong tetap diberi kepercayaan melatih. Semoga.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H