Mari membahas sisi plusnya terlebih dulu.
Indonesia akan bisa lebih fokus. Dengan tidak perlu main berpindah-pindah venue pertandingan atau bahkan berpindah negara, persiapan Indonesia untuk menyongsong semifinal tentu bisa lebih fokus. Kondisi pemain juga lebih terjaga.
Apalagi, di pertandingan terakhir melawan Malaysia, Indonesia juga bermain di National Stadium. Situasi ini bisa dilihat sebagai poin plus bagi Indonesia.
Bandingkan dengan ketika Indonesia lolos ke semifinal Piala AFF 2016 silam.
Setelah memainkan pertandingan penyisihan grup di Filipina pada 25 November, Tim Garuda lantas kembali ke Indonesia. Boyongan ke Bogor untuk menghadapi Vietnam di semifinal pertama di Stadion Pakansari pada 3 Desember.
Lantas, setelah menang 2-1 di leg pertama, Indonesia melakoni semifinal kedua dengan away ke Hanoi Vietnam pada 8 Desember.
Tidak berhenti di situ. Karena berhasil melaju ke final, Indonesia kembali ke Bogor untuk menghadapi Thailand di final pertama pada 14 Desember. Indonesia menang 2-1.
Dan, tiga hari kemudian, Timnas away ke Bangkok untuk menghadapi Thailand di leg II pada 17 Desember. Sayangnya, Indonesia kalah 0-2 dan Thailand pun juara.
Bisa dibayangkan betapa melelahkan jadwal semifinal dan final home dan away itu. Apalagi, kawasan Asia Tenggara buka seperti Eropa yang didominasi daratan sehingga bisa melakukan perjalanan darat dengan nyaman.
Sampai sekarang, saya masih berandai-andai. Andai saja final Piala AFF 2016 itu digelar dengan sistem home tournament, mungkin Tim Garuda sudah mencicipi gelar juara Piala AFF.