Menyimak berita pengumuman penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2021 oleh Pemerinta Provinsi Jawa Timur (21/11), ingatan saya serasa kembali ke masa beberapa tahun lalu.
Tahun ini, berita penetapan UMP tersebut serasa terdengar biasa bagi saya. Maksudnya, tidak ada rasa proximity alias kedekatan secara emosional. Sekadar tahu informasinya.
Maklum, sebagai tukang menulis yang bekerja lepas (freelance writer), saya merasa tidak ada keterkaitan langsung dengan pengumuman besaran UMP.
Pasalnya, upah kerja saya sebagai penulis lepas, selama ini lebih banyak didasarkan pada kesepakatan antara person to person. Besaran upahnya ditentukan berdasarkan bobot kerjanya.
Namun, saya ikut berharap agar besaran UMP yang ditetapkan tersebut ramah bagi para pekerja.
Sebab, saya pernah ada di posisi mereka. Di posisi menunggu kabar baik. Berharap bisa lebih sejahtera di tahun mendatang. Ya, saya pun pernah berada di posisi mereka.
Pernah dag dig dug menunggu pengumuman UMP
Ya, saya pernah merasakan situasi harap-harap cemas menunggu pengumuman penetapan UMP ataupun Upah Minimum Kota (UMK) oleh pemerintah.
Namun, situasi harap-harap cemas saya dulu tidak melulu soal harapan agar besaran UMP/UMK naik signifikan. Kecemasan itu menyesuaikan dengan pekerjaan yang saya jalani.
Ketika di tahun-tahun awal bekerja di 'pabrik koran' (baca pekerja media), saya tidak terlalu menaruh perhatian pada urusan ini. Sebagai fresh graduate yang langsung bekerja, mendapat gaji bulanan saja sudah menyenangkan.