Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Jorginho, Pelajaran "Gelas Kosong", dan Perlunya Pemutakhiran Kemampuan

15 November 2021   08:17 Diperbarui: 15 November 2021   16:33 1576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar itu tidak mengenal kata berhenti. Tidak ada kata cukup. Tidak ada batasan usia.

Itu berlaku bagi siapapun. Bahkan, seorang pakar di bidang yang ditekuninya sekalipun, seharusnya terus memperbarui ilmunya. Meng-up date kemampuannya.

Sebab, bila merasa diri paling pakar sehingga tak perlu belajar lagi, dia harus bersiap ditinggalkan dan dikalahkan oleh zaman yang terus bergerak.

Seperti bunyi pepatah di Barat sana, never stop learning, because life never stop teaching. Ya, hidup tak pernah berhenti mengajari kita dengan semua hal yang terjadi.

Berkorelasi dengan "never stop learning" itu, kawan-kawan jurnalis merasakan betapa zaman begitu cepat berubah. Dunia jurnalistik terus 'di-upgrade oleh zaman'.

Banyak industri media cetak dan online yang kini tidak hanya mengupah awak medianya hanya karena kepiawaian mereka dalam memproduksi tulisan.

Namun, jurnalis masa kini juga "dipaksa" menguasai kemampuan videografi, membuat konten video, mengedit video, hingga akrab dengan seluk beluk media sosial.

Berlaku hukum kompetisi di sini.

Bahwa, mereka yang mampu menguasai kemampuan baru itu, mereka tidak hanya akan mendapat 'nilai' bagus di tempatnya bekerja. Tapi, dia juga telah mengundang peluang berdatangan.

Ya, ada beberapa teman yang karena kepakarannya dalam membuat konten video dan wawasannya seputar media sosial, lantas seringkali diundang menjadi narasumber guna membagikan ilmunya.

Tentu saja itu menjadi jalan lain baginya untuk menambah pemasukan. Wawasan dan kepakarannya di bidang itu, dihargai banyak orang. Bagi saya, itu honor tambahan yang didapat dengan cara elegan.

Mereka bisa mendapatkan itu karena mau untuk memposisikan 'gelasnya kosong' lantas mau belajar mengisinya kembali. Bukan karena sudah pakar lantas merasa gelasnya sudah terisi penuh sehingga enggan belajar hal baru.

Jorginho dan kepakaran menendang penalti

Saya mendadak teringat dengan petuah belajar tidak mengenal titik berhenti setelah mengetahui momen pahit yang dirasakan pemain timnas Italia, Jorginho.

Akhir pekan kemarin, Jorginho (29 tahun) menjadi news maker di media setelah gagal menjalankan tugasnya sebagai penendang penalti saat Italia menghadapi Swiss di Olimpico Roma pada kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Eropa, Sabtu (13/11) dini hari.

Jorginho gagal menendang penalti saat Italia melawan Swiss di Kualifikasi Piala Dunia 2022 akhir pekan kemarin.| Sumber: Giuseppe Maffia/Getty Images
Jorginho gagal menendang penalti saat Italia melawan Swiss di Kualifikasi Piala Dunia 2022 akhir pekan kemarin.| Sumber: Giuseppe Maffia/Getty Images

Tendangannya melangit. Di atas mistar gawang.

Padahal, andai itu jadi gol, Italia sangat mungkin akan memenangi laga itu. Sebab penalti itu terjadi di menit ke-89 ketika skor masih sama kuat 1-1.

Andai menang, Italia bakal dipastikan lolos ke Piala Dunia 2022. Namun, hasil imbang itu membuat Italia kini harus menjalani ketegangan di pertandingan terakhir kualifikasi.

Italia harus menang saat menghadapi tuan rumah Irlandia Utara di pertandingan terakhir kualifikasi Grup C, Senin (15/11) malam waktu Eropa. Italia wajib menang karena di saat bersamaan, Swiss berpeluang menang saat menjamu Bulgaria.

Bila Swiss menang sementara Italia gagal menang, maka Swiss-lah yang akan lolos ke Piala Dunia 2022. Sementara Italia terlempar ke jalur play-off. Sebab, hanya juara grup yang lolos langsung.

Tidak sekali ini, pemain bernama asli Jorge Luiz Frello Filho Cavaliere ini gagal menendang penalti.

Di kualifikasi Piala Dunia 2022, dia sudah dua kali gagal. Dia juga gagal memasukkan bola dari titik putih saat Italia melawan Swiss di Basel pada 5 September silam.

Termasuk ketika Italia menghadapi Inggris di final Euro 2020 silam. Jorginho yang menjadi penendang kelima dalam adu penalti, gagal menaklukkan Jordan Pickford, kiper Inggris. Untung saja, kiper Italia Gianluigi Donnarumma tampil heroik dengan menggagalkan dua sepakan penalti pemain Inggris sehingga Italia akhirnya juara.

Sebenarnya, di sepak bola, seorang pemain gagal menendang penalti itu bukan hal yang aneh. Sebab, banyak pemain top pernah gagal ketika menendang penalti.

Namun, yang menjadi menarik untuk diulik karena Jorginho merupakan salah satu spesialis penendang penalti. Dia salah satu penendang penalti terbaik di Eropa.

Pemain kelahiran Brasil yang lantas membela Italia ini salah satu eksekutor penalti terbaik Gli Azzurri.

Kita tahu, lolosnya Italia ke final Piala Eropa 2020 silam ditentukan oleh tendangan penalti khas Jorginho saat adu penalti melawan Spanyol.

Dia juga sudah melakukannya berkali-kali di klubnya, Chelsea. Bahkan sempat punya catatan panjang tidak pernah gagal. Penaltinya selalu jadi gol.

Kita mengingat gayanya yang khas ketika menendang penalti. Jorginho mengangkat satu kakinya sebelum menendang lantas meletakkan bola ke arah berlawanan dari posisi kiper yang sudah salah langkah.

Seorang pakar perlu pemutakhiran kemampuan

Lalu, mengapa Jorginho yang pakar, bisa gagal menendang tiga penalti di tiga kesempatan terakhir?

Terlepas menendang penalti itu soal mentalitas, ketenangan atau bahkan keberuntungan, tapi bisa jadi dia gagal karena tidak meng-up grade keilmuan dan kepakarannya.

Dia memilih tetap percaya dan menggunakan cara lama. Enggan mencoba mengasah teknik baru. Dia yakin berhasil dengan kepakaran menendang penalti yang sudah melekat pada dirinya.

Atau, mungkin saja, pemain yang masuk kandidat peraih Ballon d'Or 2021 ini gagal karena tidak menganalisis kegagalannya sebelumnya.

Ah, namanya mungkin, bisa saja itu terjadi. Bisa juga keliru.

Tapi yang pasti, lawan-lawan yang menghadapi timnya Jorginho, baik Italia maupun Chelsea, sudah mengantisipasi kemungkinan bila akan terjadi penalti.

Kiper-kiper tim lawan pastinya sudah melihat berulang kali beberapa video rekaman ketika Jorginho menendang penalti. Mereka menganalisis cara dan kebiasaannya dalam menendang penalti. Lantas, menyiapkan 'jurus' penangkalnya.

Semisal menunggu dan tidak bergerak lebih dulu ketika Jorginho mengangkat kakinya sebelum menendang bola. Juga memainkan perang psikologis semisal menatap tajam matanya sebelum bola ditendang.

Ya, Jorginho harus sadar. Pertandingan sepak bola itu ibarat sebuah buku terbuka yang bisa dibaca siapa saja.

Siapa saja bisa melihat ketika dia menendang penalti. Siapa saja bisa mempelajari caranya.

Jorginho harus menyadari teori buku terbuka itu.

Karenanya, meskipun dirinya berstatus pakar, dia harus terus meng-update tekniknya. Bilapun merasa gelasnya sudah penuh, dia harus mau mengosongkannya.

Mau terus belajar. Terus berusaha meng-update kemampuannya agar lawan kembali kebingungan membaca tendangannya.

Bila upaya pemutakhiran (up-grade) kemampuan itu tidak dilakukannya, dia bisa kehilangan kepakarannya. Pelatih Italia, Roberto Mancini, bisa saja tidak lagi menjadikannya sebagai eksekutor penalti.

Jorginho sebenarnya sudah menyampaikan permintaan maaf. Tetapi memang, dengan tiga kali beruntun gagal penalti, sejumlah pihak mulai hilang kepercayaan padanya.

Bahkan, Presiden klub Napoli, Aurelio De Laurentiis blak-blakan menyebut Jorginho bukan sosok pengambil penalti yang oke. Dia berpendapat, eksekusi penalti timnas Italia lebih baik diberikan kepada bintang Napoli, Lorenzo Insigne.

Tentu, semua keputusan kembali pada Roberto Mancini. Semisal bila di laga melawan Irlandia Utara nanti, Italia kembali mendapat 'hadiah' penalti, entah apakah Mancini tetap percaya pada Jorginho atau menunjuk pemain lain.

Andai tetap Jorginho yang maju, tentu itu akan menjadi pertaruhan besar baginya. Bila berhasil, beban dan sorotan padanya akan mereda. Namun, bila kembali gagal, bisa saja dia mengundurkan diri sebagai penendang penalti.

Dari situasi yang dialami Jorginho, kita bisa mengambil pelajaran perihal perlunya terus belajar, mau 'mengosongkan gelas', dan meng-up grade keilmuan. Sebab, bila tidak, bersiaplah dikalahkan zaman yang sebelumnya sampeyan (Anda) kalahkan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun