Sampeyan (Anda) mungkin pernah mendengar salah satu kalimat bijak.
Bunyinya begini: "lebih baik mencoba berkali-kali tapi gagal daripada tidak pernah mencoba sama sekali".
Pesan dari kalimat bijak itu jelas. Bahwa, gagal itu memang pahit. Namun, dengan pernah merasakan kegagalan, kita jadi bisa melakukan instrospeksi diri. Bisa memetakan apa saja yang keliru sehingga berujung gagal.
Lantas, mencoba memperbaikinya. Mungkin proses perbaikan itu butuh waktu panjang. Artinya, kita mungkin akan kembali merasakan dua tiga kali gagal. Tapi, percayalah, pada akhirnya, kegagalan itulah yang membuat kita matang.
Dalam hal ini, diam saja tidak melakukan apa-apa, bisa mengkritik, dan menertawakan mereka yang gagal, sejatinya sedang menertawakan diri sendiri di masa depan. Sebab, ketika orang yang ditertawakan itu berhasil, si pengkritik ya tetap begitu saja.
Itulah yang dinamakan proses. Dan dalam ranah olahraga, utamanya di bulutangkis, proses itu seharusnya dimulai dari usia dini. Usia masih sangat muda.
Biarlah selama masih muda, mereka merasakan banyak hal di lapangan. Sering bermain. Mencecap kekalahan. Merasakan kemenangan. Itu hal lumrah. Harapannya, seiring usianya beranjak dewasa, mereka tumbuh menjadi pemain matang.
Putri KW terhenti di perempat final Belgian International
Tunggal putri Indonesia, Putri Kusumawardhani (18 tahun) tengah menapaki proses bertumbuh itu.
Ada banyak pecinta bulutangkis yang mengagumi kemampuan Putri sebagai pemain muda. Ada yang memuji Putri setinggi langit. Menyebutnya sebagai tunggal putri masa depan Indonesia.
Wajar, Putri memang fenomenal. Bayangkan, di usia 19 tahun, dia sudah mampu memenangi dua turnamen di Eropa. Salah satunya turnamen BWF World Tour level Super 300.
Namun, ingat, jangan kelewat memujinya. Jangan terlalu menaruh ekspektasi besar kepadanya. Jangan pula membanding-bandingkan dia dengan tunggal putri Pelatnas lainnya.