Seorang teman yang menjadi pengurus RT di perumahannya pernah bercerita, di tempatnya ada warga yang hobinya teriak-teriak. Sukanya protes di grup WA warga. Bahkan memanasi warga lainnya. Persis seperti kompor meledug.
Orang itu senangnya menyoroti hal-hal yang ada di perumahannya. Utamanya kebijakan pengurus RT.
Kata teman saya, lha wong pernah, iuran untuk takjil berbuka puasa di masjid yang per orang hanya Rp 25 ribu saja dipermasalahkan. Alasannya karena pandemi sehingga banyak warga tak mampu. Padahal, takjil itu untuk warga dan anak-anak di perumahan mereka sendiri ketika ada yang sholat maghrib di masjid.
Padahal, dia orang berada. Orang kaya. Tapi duit 25 ribu saja malah dibesar-besarkan. Repotnya lagi, dia jadi 'kompor' di grup WA warga. Memengaruhi orang lain agar setuju dengan pendapatnya. Ibaratnya sudah menjadi toksik.
"Dia kerapkali protes kebijakan RT di Grup WA ataupun saat rapat. Menganggap pengurus RT tidak becus bekerja. Tapi ketika pemilihan RT tidak mau datang. Tidak mau jadi ketua RT," ujar teman saya.
Tipikal orang begini memang repot. Maunya apapun diprotes. Apapun yang dilakukan ketua RT dan pengurusnya dianggapnya tidak benar. Tapi, dia tidak mau ditunjuk jadi ketua RT. Karenanya, teman saya, seorang jurnalis yang bicaranya ceplas-ceplos itu kadang mengaku gregetan.
Tapi memang, begitulah yang jamak terjadi. Namanya orang memang beda-beda. Ada yang asyik. Ada yang unik.
Meski, sebenarnya tidak sulit menjadi orang yang waras di lingkungan tempat tinggal kita.
Bahwa, ketika kita enggan menjadi pengurus RT, apa susahnya manut dan bersikap kooperatif selama memang kebijakan ketua RT-nya bagus. Apa susahnya menjadi orang yang legowo. Bukan jumawa.
Repot kalau tidak bersedia jadi pengurus RT, bahkan saat rapat pemilihan ketua RT tidak mau datang, tapi lantas bersikap seperti 'dewan pengawas' yang merasa paling benar dan selalu mengkritisi kebijakan bersama yang dibuat di lingkungan tempat tinggalnya.
Selamat berakhir pekan. Salam sehat.