Hanya saja, mereka yang datang tidak ada yang mau gagah berani mengajukan diri sebagai ketua RT. Yang ada malah saling tunjuk. Si A nunjuk si B. Si B nunjuk si C. Begitu seterusnya sampai huruf Z.
Malam semakin larut, lantas ada warga yang akhirnya mau mengajukan diri. Dia bersedia menjadi ketua RT. Warga lainnya pun setuju. Jadilah warga tersebut menjadi ketua RT baru.
Beberapa tahun kemudian, pola seperti itu kembali berulang ketika pak RT 'selesai' masa jabatannya. Lantas, dilakukan pemilihan ketua RR lagi. Dan, 'yang menang' adalah siapa yang mau. Sebab, tidak ada pemilihan selayaknya pemilihan kepala desa di kampung.Â
Alasan enggan jadi pengurus RT
Sebenarnya, mengapa ada banyak orang yang enggan menjadi ketua RT di lingkungan perumahan yang ditinggalinya?
Dari hasil bincang-bincang dengan beberapa teman, mayoritas mengaku tidak mau repot. Ingin punya waktu bersantai dengan keluarga ketika di rumah.
Banyak warga yang tinggal di perumahan memang menganggap rumahnya tempat beristirahat paling nyaman. Usai pulang kerja, langsung berdiam di rumah.
Bagi mereka, seharian bekerja di tempat kerja saja sudah menyita waktu, apalagi bila ketambahan tugas jadi ketua RT.
"Di kantor kerjaan sudah banyak, terus nyampe rumah disibukkan urusan warga. Kapan istirahatnya," celetuk seorang teman yang mengaku enggan jadi ketua RT di lingkungan tempat tinggalnya.
Dan memang, jadi pengurus RT, utamanya ketua RT itu harus siap repot.
Sebab, di lingkungan perumahan, ada banyak warga baru yang perlu mengurus urusan administrasi kependudukan. Beda dengan di kampung yang umumnya warganya sudah menetap lama.