Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Merasakan Ketegangan Kekalahan Indonesia dari Malaysia di Perempat Final Piala Sudirman

2 Oktober 2021   06:54 Diperbarui: 2 Oktober 2021   16:47 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ganda campuran Indonesia, Praveen Jordan/Melati Daeva kalah di laga penentu. Indonesia kalah dari Malaysia/Raphael Sachetat/Badminton Photo

Semoga saja, kerinduan tim bulutangkis Indonesia untuk membawa pulang Piala Sudirman tidak seperti peribahasa bagai pungguk merindukan bulan.

Pengandaian itu mendadak muncul dalam pikiran saya usai langkah tim Indonesia dihentikan Malaysia di perempat final Piala Sudirman, Sabtu (2/10) dini hari tadi. Indonesia yang kali terakhir meraih Piala Sudirman 1989, harus menunggu lebih lama lagi.

Dini hari tadi, saya ikut merasakan yang dirasakan pemain-pemain Indonesia. Sedih.

Rela menunda waktu tidur (meski sempat tertidur sebentar) sampai jam 02.00 pagi demi menyaksikan langsung perjuangan tim bulutangkis Indonesia di Piala Sudirman 2021 di Vantaa, Finlandia melalui layar TVRI, yang terjadi justru nyesek.

Itu setelah tim Indonesia kalah 2-3 dari Malaysia. Perjuangan Indonesia terhenti di perempat final. Gagal lolos ke semifinal. Gagal membawa pulang Piala Sudirman yang berkelana ke mana-mana sejak tahun 1989 silam.

Nyesek. Kecewa.

Tapi, bila saya yang hanya tinggal menonton nyesek, bagaimana dengan pemain-pemain Indonesia yang telah berjuang jatuh bangun di lapangan tetapi tidak meraih hasil yang diinginkan. Pastinya lebih kecewa dari saya.

Pertemuan Indonesia melawan Malaysia yang acapkali menghadirkan nuansa emosional itu sebelumnya memang diprediksi bakal berakhir dengan skor ketat.

Utamanya karena di tiga nomor pertama, yakni ganda putra, tunggal putri, dan tungga putra, kemungkinan apapun bisa terjadi. Saya menulisnya di sini https://www.kompasiana.com/hadi.santoso/61564cd72881753da840c402/indonesia-jumpa-malaysia-di-perempat-final-3-nomor-ini-diprediksi-alot-dan-menentukan-ke-semifinal.

Tapi, prediksi saya kurang pas di dua nomor terakhir yang memainkan ganda putri dan ganda campuran. Utamanya di nomor ganda campuran yang menjadi penentuan ketika skor sama kuat 2-2.

Indonesia kalah di nomor penentuan yang diharapkan menang

Ya, kemenangan Malaysia ditentukan oleh ganda campuran lewat pasangan Hoo Pang Ron/Cheah Yee See. Mereka mengalahkan pasangan Indonesia, Praveen Jordan/Melati Daeva lewat rubber game.

Pertandingan penentuan itu berlangsung menegangkan. Bukan hanya karena itu pertandingan penentu karena skor 2-2. Tapi karena pemain-pemain Malaysia sedang on fire. Mereka tampil penuh percaya diri.

Praveen/Melati (ranking 4 dunia) yang sejatinya unggul pengalaman dari Hoo (25 tahun)/Cheah (23 tahun) yang ada di ranking 27, justru seringkali dalam posisi tertinggal. Mereka tertinggal 9-11 di interval pertama. Lantas tertinggal 16-19, 18-20. Berusaha memyamakan skor, mereka kalah 19-21.

Di game kedua, Praveen/Melati mengamuk. Lewat permainan gesit Melati dan smash tajam Praveen, lereka langsung unggul jauh 6-1, 8-2, 11-2. Hingga menutup game ini dengan skor 21-9. Laga berlanjut ke game tiga. Semakin menegangkan.

Saya sempat optimistis, Praveen/Melati bakal meneruskan penampilan garang di game kedua dan membawa Indonesia menang.

Namun, yang terjadi, ganda Malaysia yang justru terus unggul. Praveen/Melati kembali tampil seperti di game pertama. Beberapa kali return bolanya nanggung dan beberapa kali melakukan kesalahan sendiri.

Hoo/Cheah ungul 11-10 di interval pertama. Lantas, di interval kedua, pasangan Malaysia ini melesat.

Tahu-tahu, mereka sudah unggul jauh 20-14. Praveen/Melati sempat berusaha mengejar dengan mendapat 16 poin. Namun, apa mau dikata, ganda Malaysia akhirnya menang 21-16. Ketika pukulan keras Praveen keluar lapangan. Praveen sempat meminta challenge, tapi tidak berbuah poin.

Malaysia pun berhak lolos ke semifinal.

Pemain-pemain Malaysia tampil lebih 'ringan', Indonesia kurang lepas

Tapi memang, menyaksikan laga perempat final Piala Sudirman tadi malam, jantung seperti ikut berolahraga. Rasanya dag dig dug. Kadang gemas. Gregetan.

Betapa tidak, pemain-pemain Malaysia meskipun kalah ranking dan pengalaman dari pemain-pemain Indonesia, tetapi mereka bermain bak melakoni final yang diganjar piala.

Jauh sebelum laga penentuan, Malaysia sempat unggul dua kali atas Indonesia.

Di pertandingan pertama yang memainkan ganda putra, pasangan Marcus Gideon/Kevin Sanjaya yang diharapkan meraih poin menang, justru kalah. Ganda ranking 1 dunia ini kalah straight game 12-21, 15-21 dari Aaron Chiah/Soh Wooi Yik (ranking 8 dunia).

Diharapkan bisa revans kekalahan di perempat final Olimpiade dari lawan yang sama, Marcus/Kevin justru terus tertekan sepanjang laga. Kita tidak melihat Marcus/Kevin yang dulu selalu mendominasi lewat pukulan drive cepat dan serobotan Kevin di depan net.

Justru ganda Malaysia ranking 9 dunia ini yang tampil cepat. Kaki-kaki mereka seolah ringan. Mereka juga sangat percaya diri bisa mengalahkan Marcus/Kevin. Dan itulah yang terjadi. Indonesia tertinggal 0-1.

Indonesia sempat menyamakan skor 1-1 lewat tunggal putri Gregoria Mariska yang mengalahkan Kisona Selvaduray lewat rubber game di pertandingan kedua.

Ini pertandinga yang sungguh 'tidak baik' buat kesehatan jantung. Betapa tidak, Gregoria (ranking 21) berkali-kali tertinggal dari Kisona (ranking 53). Dia unggul 22-20 di game pertama tapi kalah 18-21 di game kedua.

Di game penentuan, Gregoria sempat unggul jauh 20-14. Butuh satu poin lagi.

Yang terjadi, Kisona mampu meraih banyak poin hingga angka 19. Andai dapat sau poin lagi, tentu terjadi setting poin. Untungnya, Gregoria mampu menyudahi laga dengan kemenangan. Indonesia menyamakan skor.

Di pertandingan ketiga, tunggal putra Anthony Sinisuka Ginting tak mampu mengeluarkan permainan terbaiknya. Ginting (ranking 5) tak kuasa menahan penampilan ganas Lee Zii Jia (ranking 8). Dia kalah straight game 11-21, 16-21.

Indonesia pun tertinggal 1-2.

Di pertandingan keempat, saatnya ganda putri. Saya yakin, pasangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu bisa menang dan menyamakan skor. Sebab, peraih medali emas Olimpiade 2020 ini bertemu lawan yang sejatinya tidak 'mengerikan'. Yakni pasangan Pearly Tan dan Thinaah Muralitharan yang menempati ranking 19 dunia.

Yang terjadi, lagi-lagi pertandingan berjalan sangat ketat. Tan (21 tahun) dan Muralitharan (23 tahun) ternyata tampil powerfull bak ganda putri top dunia. Mereka bisa mengimbangi permainan cepat Greysia/Apriyani.

Di game pertama, Greysia/Apriyani dipaksa melakoni setting point meski menang 22-20. Di game kedua, ganda Malaysia yang tampil enerjik, menang 21-17.

Ketegangan terjadi di game ketiga. Sebab, itu game menentukan. Andai ganda Malaysia menang, dipastikan Malaysia akan unggul 3-1 dan melaju ke semifinal. Namun, Greysia/Apriyani menolak 'skenario' itu.

Puncak ketegangan terjadi saat Greysia/Apriyani mendapatkan 20 poin. Namun, ganda Malaysia mendapatkan tiga atau empat poin beruntun hingga angka 18. Untungnya, Greysia/Apriyani bisa menutup laga 21-18. Indonesia menyamakan skor 2-2.

Sayangnya, Indonesia terhenti karena Malaysia bisa mengambil kemenangan di pertandingan penentuan.

Apresiasi patut diberikan untuk perjuangan pemain-pemain Indonesia

Menyoal kekalahan itu, kita mungkin saja berandai-andai. Mengapa kok pemain ini yang diturunkan. Kok bukan pemain itu. Tapi, pengandaian itu bak pepatah nasi sudah menjadi bubur.

Terpenting, meski Indonesia gagal ke semifinal, apresiasi patut kita berikan kepada pemain-pemain Indonesia. Mereka telah berjuang dengan begitu gigihnya di lapangan. Meski, hasil tidak sesuai harapan.

Tetapi memang, di nomor beregu, apapun bisa terjadi. Ranking pemain yang lebih bagus ataupun keunggulan rekor head to head kadang tidak lagi penting.

Malaysia membuktikan itu. Pemain-pemain mereka bermain lebih gigih dan percaya diri. Sebaliknya, pemain-pemain Indonesia seperti tampil kurang lepas.

Kaki-kaki pemain Malaysia seperti bergerak ringan di lapangan. Utamanya di nomor yang sejatinya akan menjadi milik Indonesia seperti ganda putri dan ganda campuran.

Sementara di ganda putra dan tunggal putra yang selama ini menjadi kekuatan utama Indonesia, harus diakui kali ini permainan Malaysia memang lebih baik.

Semoga pemain-pemain Indonesia bisa lekas bangkit. Move on. Semangatnya. Mentalnya. Apalagi, pekan depan, mereka langsung tampil di Piala Thomas dan Piala Uber di Aarhus Denmark, 9-17 Oktober.

Ya, come back stronger Ginting dan kawan-kawan. Salam bulutangkis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun