Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Kita yang Sering Salah Kaprah Memaknai Hemat atau Pelit

24 September 2021   10:15 Diperbarui: 24 September 2021   15:33 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hemat pengeluaran | Sumber: Shutterstock via lifestyle.kompas.com

"Selamat ya bukunya sudah selesai cetak. Semoga banyak peminatnya. Boleh dong minta satu buku dikirim ke rumah. Jangan lupa tanda tangan penulisnya ya".

Ucapan seperti itu jamak diterima oleh mereka yang menulis buku. Walau kalimatnya berbeda, tetapi esensinya sama saja.

Ketika buku yang susah payah mereka tulis, diatur tata letaknya, diurus ISBN-nya, selesai dicetak, lantas dipromosikan, permintaan berjenis seperti itu kerap kali mereka terima.

Saya pun dulu pernah merasakan situasi seperti itu, ketika beberapa kali buku yang saya cetak di penerbit indie selesai dicetak dan siap dipasarkan. 

Ada beberapa kawan yang memberi ucapan selamat sembari memotivasi, mendoakan bukunya dibaca banyak orang. Ada juga yang menyampaikan selamat tapi ada embel-embelnya. Meminta buku gratisan tanpa beli.

Repotnya lagi, sudah minta gratisan terkadang dibumbui dengan kalimat yang tidak mengenakkan didengar.

"Masa sama teman sendiri, cuma satu buku saja nggak mau ngasih".

Nah, apakah sampeyan (Anda) juga pernah mengalami situasi serupa?

Mungkin bukan buku. Tapi semisal kalian mulai membuka usaha kuliner seperti kue atau camilan, lalu ada teman-teman yang meminta tester gratisan.

Namanya tester memang gratisan. Tapi kalau yang minta testernya ratusan orang ya repot. Bisa-bisa usahanya langsung gulung tikar karena nggak ada modal untuk membuat produk lagi.

Sikap pelit bisa merusak pertemanan dan menyengsarakan diri sendiri

Bagi sebagian orang, sikap meminta gratisan ataupun tester itu mungkin dianggap sebagai bagian dari berhemat. 

Seperti maknanya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hemat berarti berhati-hati dalam membelanjakan uang, tidak boros.

Orang salah kaprah memaknai berhemat atau pelit. Ada orang yang berpikiran sedang berhemat tapi padahal pelit bukan main. Foto: steemit.com
Orang salah kaprah memaknai berhemat atau pelit. Ada orang yang berpikiran sedang berhemat tapi padahal pelit bukan main. Foto: steemit.com

Namun, bagi sebagian besar orang, sikap seperti itu sebenarnya bukan hemat. Tapi pelit alias medit.

Padahal hanya mengeluarkan duit dalam jumlah relatif nggak banyak. Estimasi harga buku tidak sampai 100 ribu, apalagi kuliner semacam kue atau camilan. Itupun belinya dengan teman sendiri.

Tapi memang, terkadang orang salah kaprah dalam memaknai berhemat atau pelit ini. Hemat dan pelit itu beda tipis. Ada orang yang berpikiran sedang berhemat tapi padahal pelit bukan main.

Mereka tidak mau boros dan ingin berhati-hati dalam membelanjakan uang. Tapi sikap hati-hatinya malah bisa merusak hubungan dengan teman.

Semisal ada seorang kawan yang membuka jasa pembuatan blog. Lantas, kita ingin membuat blog pribadi. Kita meminta jasa teman tapi pengennya gratisan. Atau mau membayar tapi harganya ditawar sampai separoh.

Padahal, idealnya, meminta jasa teman yang sudah kenal baik, seharusnya tidak perlu dinego. Anggap saja itu saling memajukan usaha. Seperti juga dalam hal bila ada teman menulis buku tadi. Sebab, seorang teman baik pastinya memberi harga yang sesuai. Bahkan mungkin sudah diturunkan dari harga aslinya.

Sikap pelit ini tidak hanya bisa merusak pertemanan, tetapi juga bisa menyengsarakan diri sendiri.

Ambil contoh di tempat kerja, karena merasa ingin berhemat, ada teman yang sampai rela menahan lapar ketika jam makan siang, padahal dia masih ada duit. Atau ada juga yang berprinsip makan bila ada yang sedang traktiran. Padahal gajinya dia dengan teman lainnya ya sama. Lha wong teman sekantor.

Tentu saja, sikap seperti itu masuk kategori pelit. Pelit yang menyiksa. Dia rela menahan lapar bahkan sampai sakit maag karena enggan keluar duit.

Berbeda dengan orang yang berhemat beneran. Ketika waktunya makan siang, ya makan siang. Terpenting tidak berlebihan.

Semisal beli nasi di warteg yang harganya terjangkau. Itupun makannya nggak asal karena masih ada sayur dan lauk menyesuaikan anggaran. Yang penting, kebutuhan perut terpenuhi.

Sikap pelit ini juga terkadang sulit dinalar. Ada yang karena saking hati-hatinya mengeluarkan duit, dia pantang membeli baju baru sebelum bajunya robek ataupun rusak. Selama seminggu, bila di kantor tidak ada seragam kerja, baju yang dipakai untuk bekerja ya itu-itu saja.

Padahal, beli baju itu salah satu kebutuhan utama apalagi bila dipakai untuk bekerja. Terpenting, belinya menyesuaikan kemampuan. Toh, beli bajunya tidak setiap bulan, apalagi setiap pekan.

Ambil contoh, dari gaji bulanan yang diterima, bisa disisihkan sedikitnya 50 ribu atau 100 ratus ribu. Lantas, membeli bajunya tiga bulan atau enam bulan sekali. Jadi, dalam setahun membeli 3-4 baju.

Membuat siasat agar tidak terjebak boros

Pendek kata, untuk bisa berhemat dan tidak sampai pelit pada diri sendiri, bisa disiasati. Salah satunya dengan membuat rencana pengeluaran harian. Dengan begitu, kita bisa tahu seberapa banyak pengeluaran kita dalam sehari.

Cara itu yang dulu saya terapkan ketika pertama kali kuliah di Malang ataupun saat dipindah kerja di Jakarta.

Sejak SMA, saya memang berkeinginan untuk kuliah di luar kota. Ingin merasakan kehidupan jauh dari orang tua. Jadi anak kos.

Ketika beneran jadi anak kos, ketika diberi duit secukupnya oleh orang tua jelang memulai kuliah, saya rajin membuat daftar pengeluaran itu.

Dari kebutuhan makan harian, anggaran mengerjakan tugas di rental komputer, hingga duit untuk ongkos pulang naik bus. Juga anggaran lain-lain. Termasuk menyisihkan duit untuk sekadar bermain dengan teman-teman di rental PlayStation.

Begitu juga ketika bekerja di Jakarta yang katanya apa-apa serba mahal. Beda dengan di Sidoarjo ataupun di Surabaya. Meski mendapat gaji dari kantor ya besarannya lumayan, tapi anggaran pengeluaran tetap perlu ditata.

Mulai kebutuhan makan, bahan bakar kendaraan untuk liputan, beli satu dua baju, hingga membeli buku di Gramedia ataupun menonton film ketika akhir pekan. Plus menyisihkan untuk orang tua.

Nah, kalian selama ini termasuk golongan yang mana, apakah termasuk yang bisa menerapkan gaya berhemat dengan cara benar atau malah bersikap pelit tapi merasa sedang berhemat?

Salam sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun