Ambil contoh di tempat kerja, karena merasa ingin berhemat, ada teman yang sampai rela menahan lapar ketika jam makan siang, padahal dia masih ada duit. Atau ada juga yang berprinsip makan bila ada yang sedang traktiran. Padahal gajinya dia dengan teman lainnya ya sama. Lha wong teman sekantor.
Tentu saja, sikap seperti itu masuk kategori pelit. Pelit yang menyiksa. Dia rela menahan lapar bahkan sampai sakit maag karena enggan keluar duit.
Berbeda dengan orang yang berhemat beneran. Ketika waktunya makan siang, ya makan siang. Terpenting tidak berlebihan.
Semisal beli nasi di warteg yang harganya terjangkau. Itupun makannya nggak asal karena masih ada sayur dan lauk menyesuaikan anggaran. Yang penting, kebutuhan perut terpenuhi.
Sikap pelit ini juga terkadang sulit dinalar. Ada yang karena saking hati-hatinya mengeluarkan duit, dia pantang membeli baju baru sebelum bajunya robek ataupun rusak. Selama seminggu, bila di kantor tidak ada seragam kerja, baju yang dipakai untuk bekerja ya itu-itu saja.
Padahal, beli baju itu salah satu kebutuhan utama apalagi bila dipakai untuk bekerja. Terpenting, belinya menyesuaikan kemampuan. Toh, beli bajunya tidak setiap bulan, apalagi setiap pekan.
Ambil contoh, dari gaji bulanan yang diterima, bisa disisihkan sedikitnya 50 ribu atau 100 ratus ribu. Lantas, membeli bajunya tiga bulan atau enam bulan sekali. Jadi, dalam setahun membeli 3-4 baju.
Membuat siasat agar tidak terjebak boros
Pendek kata, untuk bisa berhemat dan tidak sampai pelit pada diri sendiri, bisa disiasati. Salah satunya dengan membuat rencana pengeluaran harian. Dengan begitu, kita bisa tahu seberapa banyak pengeluaran kita dalam sehari.
Cara itu yang dulu saya terapkan ketika pertama kali kuliah di Malang ataupun saat dipindah kerja di Jakarta.
Sejak SMA, saya memang berkeinginan untuk kuliah di luar kota. Ingin merasakan kehidupan jauh dari orang tua. Jadi anak kos.