Pernah akan meliput sebuah acara jam 9 pagi. Saya berangkat setengah jam sebelumnya. Dari rumah lumayan cerah. Mendadak di tengah jalan turun hujan. Sialnya, setelah mengecek jok motor, jas hujan ternyata tertinggal di rumah karena sehari sebelumnya dikeringkan.
Sempat berteduh sebentar, berharap hujannya lewat. Tapi ternyata tidak kunjung reda.
Akhirnya, nekad menerobos hujan karena cemas bila ketinggalan acara dan tidak dapat berita. Jadilah sampai di lokasi, celana lumayan basah. Untung bajunya tidak terlalu basah, terlindungi oleh jaket yang basah kuyup.
Tidak kaget dengan 'gaji yang biasa'
Dari semua hal itu, yang terakhir ini mungkin yang paling bisa 'makan hati'. Bahwa, tidak semua media memiliki kemampuan menggaji wartawannya dengan gaji besar atau cukup.
Dulu, karena saya bekerja di perusahaan media yang menurut saya besar dan punya kemampuan fiansial bagus, saya mendapatkan gaji yang wajar. Dalam artian masih sesuai dengan besaran Upah Minimum Kota (UMK).
Ketika masih bujang, saya masih bisa menyisihkan separuh gaji untuk ditabung. Apalagi bila mendadak ada bonus dari kantor. Ketika sudah berkeluarga, saya masih bisa mengalokasikan sebagian gaji untuk mencicil angsuran KPR rumah selain kebutuhan rutin harian.
Tapi, ada cukup banyak teman media yang kurang beruntung karena mendapatkan gaji 'seadanya' dari media tempatnya bekerja alias masih di bawah UMK. Bahkan, ada yang mendapat gaji hanya dengan mengandalkan dari fee iklan.
Gaji yang biasa dan merasa kurang ini terkadang menjadi pemicu beberapa oknum wartawan untuk mencari tambahan lewat jalur yang sebenarnya tidak diperbolehkan.
Dulu, saya sering dicurhati tetangga yang seorang guru. Dia bercerita kerapkali ada oknum wartawan yang datang ke sekolahnya. Oknum itu disebutnya berdalih akan memberitakan 'jeleknya' sekolah itu lantas meminta duit.
Nah, bila seperti itu, sebelum mengajukan lamaran kerja di media, kalian bisa mencari tahu reputasi media tersebut. Utamanya dalam kemampuan menggaji wartawannya.