Bekal apa saja?
Ingat, tulisan yang ditulis bisa berisiko
Bekerja menulis di media bukan hanya tentang 'mengarang indah' menghasilkan tulisan hasil liputan untuk ditayangkan di media daring ataupun dimuat di media cetak.
Sebab, tulisan yang kita tulis terkadang ada risikonya. Utamanya ketika menulis hal-hal yang di masyarakat menimbulkan perbedaan pandangan, pro kontra, ataupun sengketa.
Sehingga, tulisan kita tidak akan bisa menyenangkan semua orang. Malah bisa diprotes orang, bisa dilaporkan ke dewan pers, atau bahkan bisa terjerat urusan hukum.
Risiko itu bukan hanya terjadi di genre berita yang dianggap 'berat' semisal politik dan pemerintahan. Tulisan yang dirasa ringan seperti ekonomi, olahraga, maupun gaya hidup juga bisa diprotes orang.
Semisal bila kita keliru menuliskan nama orang, keliru menulis kutipan, atau salah dalam memberitakan peristiwa sehingga berbeda dengan yang sebenarnya.
Untuk meminimalisasi risiko ini, seorang wartawan harus berpegang teguh pada kode etik profesinya.
Semisal dalam menulis berita, selalu mengedepankan fakta dan tidak beropini, juga mengulasnya secara cover both sides alias menampilkan dari berbagai sisi. Bukan hanya sepihak.
Berita juga harus menampilkan pernyataan yang sebenarnya dari narasumber. Bukan mengada-ada atau yang populer dengan sebutan wawancara imajiner. Karenanya, penting untuk merekam wawancara.
Plus, mengedepankan cek dan re-cek tulisan. Sebelum berita ditayangkan, cek kembali tulisannya. Dari penulisan nama orang, skor pertandingan, hingga mendengarkan kembali hasil rekaman wawancara seandainya masih ada yang diragukan.