Ganda campuran bulutangkis Indonesia dipastikan tidak meraih medali di Olimpiade 2020. Tidak akan ada ulangan pencapaian hebat Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir saat meraih medali emas di Olimpiade 2016 silam.
Itu setelah satu-satunya wakil Indonesia di ganda campuran, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti, terhenti di babak perempat final cabang olahraga bulutangkis Olimpiade 2020, Rabu (28/7).
Praveen/Melati kalah dari pasangan ranking 1 dunia dan favorit peraih medali emas asal China, Zheng Siwei/Huang Yaqiong. Mereka kalah straight game alias dua game langsung dengan skor 17-21, 15-21.
Dari 11 atlet bulutangkis Indonesia yang tampil di Olimpiade 2020, Praveen dan Melati menjadi wakil pertama yang tersingkir.Â
Pramel gagal 'meledak' seperti di Paris
Saya dan Sampeyan (Anda) yang menyaksikan langsung pertandingan tersebut dari layar televisi pastinya kecewa. Ikut gregetan sepanjang pertandingan.
Sebab, kita berharap Praveen/Melati bisa tampil hebat di perempat final. Kita berharap mereka menang dan lolos ke semifinal untuk mengambil peluang meraih medali.
Saya pribadi berharap Praveen/Melati tampil 'meledak' seperti di final French Open 2019.
Kala itu, 27 Oktober 2019 di Paris, Pramel--sebutan warganet untuk Praveen/Melati, bisa mengalahkan Siwei/Yaqiong lewat rubber game. Mereka memperlihatkan ketangguhan mental luar biasa. Kalah 22-24 di game pertama, bisa menang 21-16, 21-12 di dua game berikutnya dan meraih gelar juara.
Sepekan sebelumnya, mereka juga mengalahkan Siwei/Yaqiong di perempat final Denmark Open 2019. Juga lewat kemenangan rubber game dramatis seperti yang saya tulis di tulisan ini : https://www.kompasiana.com/hadi.santoso/60feced0b34e1c0cb20351c2/jumpa-unggulan-1-di-perempat-final-praveen-melati-diminta-tampil-habis-habisan.
Ya, saya berharap Praveen/Melati bisa mengulang kembali penampilan heroik mereka saat mengalahkan Siwei/Yaqiong di Prancis dan Denmark. Itu penampilan yang tidak hanya super, tapi mentalitas mereka di laga menegangkan itu sangat luar biasa.
Tapi, harapan tinggal harapan. Tidak kesampaian.
Praveen/Melati kali ini justru nampak kurang tampil enjoy. Mereka beberapa kali melakukan kesalahan sendiri. Utamanya Melati yang kali ini nampak inferior melawan Huang Yaqiong di depan net.
Pada akhirnya, sang juara All England 2020 inipun, kandas di perempat final. Harapan Indonesia meraih medali di ganda campuran pun ikut kandas.
Riuh komentar warganet dan kaget dengan salah satu berita media
Menyoal kekalahan Praveen/Melati itu, saya tergoda untuk mencari tahu bagaimana komentar dari warganet dan para badminton lover di media sosial. Utamanya di beberapa akun Instagram yang rutin mengabarkan informasi dari arena Olimpiade, terutama bulutangkis.
Salah satunya di akun badmintalk_com. Ada 8 ribu lebih komentar pecinta bulutangkis dan warganet yang menumpahkan uneg-unegnya di kolom komentar.
Dari komentar yang mengapresiasi perjuangan mereka meski kalah. Ada yang menguatkan Pramel agar come back stronger. Ada yang menjadi penerawang dengan menyebut sudah menduga kekalahan itu.
Hingga mereka yang melakukan perundungan. Malah ada yang memainkan isu body shaming alias menyerang fisik Pramel sebagai penyebab kekalahan tersebut.
Mungkin itu hanya luapan kecewa karena saking besarnya harapan pada Praveen dan Melati.
Namun, meski kecewa, bukan kemudian kita melupakan perjuangan mereka. Bagaimanapun, Praveen/Melati telah mencoba berjuang untuk Indonesia di Olimpiade.
Logika sederhananya, bila kita yang mendukung dan menonton mereka merasakan kekecewan, apalagi mereka yang bermain. Pasti lebih kecewa lagi.
Tapi, selain riuh komentar warganet itu, saya mendapatkan temuan mengejutkan saat melakukan aktivitas scrolling di media sosial hari ini. Tepatnya Instagram.
Salah seorang presenter tayangan bulutangkis Olimpiade di salah satu stasiun televisi nasional, memposting sebuah berita dari media daring. Judul berita media itu bikin gedek-gedek kepala. "Reputasi bulutangkis Indonesia rusak gara-gara Pramel/Melati".
Duh, kenapa harus begitu juga judulnya. Sukar dipercaya. Tidak adakah pilihan judul yang lebih oke.
Saya yang pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran' memang tergilitik mengulas judul yang menurut saya tidak keren itu.
Merusak reputasi, benarkah?
Kalau Pramel tersingkir di fase grup alias gagal lolos di perempat final karena dikalahkan ganda bukan unggulan, judul begitu mungkin masih terdengar rasional, meski juga tidak seharusnya.
Lha ini, mereka tersingkir di perempat final dan lawannya adalah ganda campuran terkuat di dunia saat ini.
Atau, kalau memang niatnya untuk menggoda pembaca meng-klik berita itu, apa iya pembaca tertarik. Bukannya informasi Praveen/Melati tersingkir saja sudah cukup tanpa harus dibumbui macam-macam? Sebab, tidak semua orang bisa menonton laga itu.Â
Memang, judul itu pilihan masing-masing orang yang menulisnya. Atau mungkin juga pilihan editornya.
Namun, bagi saya, dalam ranah pemberitaan olahraga, penting untuk mengedukasi pembaca dengan informasi yang berbobot dan judul oke. Dan untuk bisa menulis berbobot, tentu penulisnya harus punya pemahaman dan referensi berbobot.
Bahkan, kata salah senior wartawan yang juga guru menulis olahraga saya, dalam menulis olahraga tidak cukup hanya mengandalkan referensi.
Seorang wartawan kalau perlu juga merasakan langsung. Semisal menulis bulutangkis atau sepak bola, ya mereka bisa bermain dan merasakan situasi saat pertandingan. Supaya tulisannya punya ruh.
Dalam hal ini, saya membandingkan dengan bagaimana media Malaysia merespon tersingkirnya pasangan Chan Peng Song/Goh Liu Ying di fase grup. Bayangkan, finalis/perah medali perak Olimpiade 2016 out di fase grup setelah kalah tiga kali beruntun.
Memang, warganet Malaysia bersuara keras pada kegagalan Chan/Goh itu. Namun, sejauh pengamatan saya berita yang muncul tidak ada yang menyebut CPS/GLY merusak reputasi bulutangkis Malaysia.
Media Malaysia seperti Bernama, Malaysiakini, atau thestar.com lebih menonjolkan sisi humanis ketika Goh Liu Ying menangis seusai pertandingan dan memilih judul akhir yang pahit.
Pada akhirnya, menerima kekalahan memang tidak mudah. Tapi, kita harus ingat, mereka turun ke lapangan bukan untuk kalah. Mereka juga ingin menang. Mereka sudah berusaha. Begitu juga dengan Praveen dan Melati.
Perihal merespons kekalahan ini, saya tertarik dengan komentar Liliyana Natsir. Dalam wawancara dengan detiksport yang dilansir dari badmintalk_com, Ci Butet bilang begini.
"Pasti menyayangkan dengan hasil ini. Kalau mau dibilang kecewa mereka lebih kecewa kali. Mereka pasti sedih. Ekspektasinya kita kan minimal lolos dan medali. Saya tak bilang medali warnanya apa, tapi minimal dapat medali. Tapi ini ya harus kita terima, kenyataannya mereka tidak bisa mendapat medali. ya harus legawa dan harus mengakui pemain China itu lebih siap, lebih bagus".
Ya, meski kecewa, kita perlu untuk tetap menghargai perjuangan para atlet yang berjuang di Olimpiade sana. Tentu saja, kita semua berharap atlet-atlet kita bisa meraih medali emas.
Tapi ingat, lawan mereka pun demikian. Mereka punya tujuan yang sama. Dan dalam pertandingan bulutangkis, hanya ada satu pemenang. Salam bulutangkis. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H